Ustadz Unknown |

HUKUM MUSAFIR SHALAT DI KENDARAAN


SOAL :
Ustadz Jika kita safar dari Pekalongan ke Surabaya naik Bus, berangkat sore dan tiba di surabaya pagi saat matahari sudah terbit. Yang saya tanyakan Jika waktu subuh Bis tidak berhenti bagaimana cara kita shalat subuh, bolehkah Tayammum dan shalat dikendaraan? Lalu Bagaimana dengan arah kiblatnya, sedangkan kita menghadap ke arah timur ? Jazakallah khair dari Dony di Pekalongan.

JAWAB :
Barokallahu fikum...terkait pertanyaan ada poin-poin penting sebagai hukum asal diantaranya :
[1] Hukum asalnya bagi seorang musafir tidak boleh shalat fardlu di kendaraan. Kecuali shalat sunnah maka boleh di lakukan di kendaraan baik kendaraan pribadi atau kendaraan umum. Dalilnya adalah :

عَنْ ابنِ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا غَيْرَ أنَّهُ لا يُصَلِّي عَلَيْهَا المَكْتُوبَةَ. متفق عليه
Dari Ibnu umar ia berkata, Bahwasanya rasulullah shalallahu alaihi wasallam shalat sunnah diatas kendaraannya kemanapun arah kemdaraannya menghadap, dan Beliau shalat witir diatas kendaraannya, kecuali shalat fardhu (beliau turun dari kendaraannya) (HR Bukhari : 1098 Muslim : 700)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ
Dari jabir radhiyallahu anhu ia berkata adalah rasulullah shalallahu alaihi wasallam beliau shalat (sunnah) diatas kendaraannya kemanapun arah kendaraannya menghadap, maka apabila beliau mau melakukan shalat fardlu beliau turun dari kendaraannya dan menghadap kiblat” (HR Bukhari : 400)
Ketika shalat sunnah di kendaraan dianjurkan untuk menghadap kiblat saat takbiratul ihram, lalu setelah itu tidak masalah kemanapun arah kendaraannya menghadap. sebagaimana riwayat dari Anas bin malik ia mengatakan :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ، ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ وَجَّهَهُ رِكَابُهُ
Bahwasanya rasulullah shalallahu alaihi wasallam apabila sedang sfar lalu beliau ingin melakukan shalat sunnah, beliau menghadapkan kendaraannya ke arah kiblat, lalu takbiratul ihram, lalu setelah itu beliau biarkan kemana pun arah kendaraannya berjalan”. (HR Abu dawud : 1225)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
أن التنفل على الراحلة في السفر الذي تُقصر فيه الصلاة جائز بإجماع المسلمين ...
“Bahwasanya shalat sunnah diatas kendaraan ketika safar yang boleh padanya mengqasar shalat hukumnya boleh berdasarkan ijma’ (ulama) Muslimin” (Syarah Muslim 5/216)

[2] Hukum asal ini di kecualikan apabila kondisi turun dari kendaraan Umum tidak memungkinkan dikhawatirkan ketinggalan bis, atau kereta atau pesawat misalnya, maka shalatlah di atas kendaraan dengan alasan sifatnya darurat. Dan tidak boleh menunda-nunda waktu shalat apalagi sampai keluar dari waktunya.

Dalilnya adalah Kaedah Qur’aniyah. Allah Ta’ala berfirman :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْراً لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta'atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS At-Taghabun : 16)

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ
Maka apabila kalian di perintahkan sesuatu lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian tapi kalau di larang dari sesuatu maka tinggalkanlah” (HR Bukhari : 7288, Muslim : 1337)

Imam An-nawawi rahimahullah mengatakan :
لَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ
Seandainya datang waktu shalat sementara mereka dalam perjalanan (diatas kendaraannya) dan kalau turun dari kendaraan untuk shalat di bumi khawatir terpisah dari rombongannya, atau khawatir terhadap harta dan jiwa nya, maka tidak boleh meninggalkan shalat sampai keluar dari waktunya, akan tetapi harus shalat diatas kendaraannya demi menjaga shalat pada waktunya..(Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab 3/242)

[3] Lalu bagaimana cara shalat diatas kendaraan ? jawabnya adalah bahwa hukum asalnya dia wajib shalat sebagaimana mestinya, yaitu berdiri, ruku, sujud, duduk lalu salam. Akan tetapi apabila tidak memungkinkan melakukannya dengan sempurna maka berlaku kaedah seperti yang di sebutkan di poin ke [2]. Lakukan shalat sesuai dengan kemampuan. Shalat sambil duduk diatas kendaraan.

[4] Demikian juga dengan cara bersucinya kalau ada air di kendaraan maka bersuci dengan cara berwudhu, akan tetapi ketika tidak mendapatkan air maka saat kondisi demikian di bolehkan Tayammum. Cara tayamum adalah menepukkan tangan ke dinding atau jok kursi kendaraan atau turun dari kendaraan sekedar untuk tayammum saja misalnya.

Abu Sa’id al-Kudriyi berkisah :

خَرَجَ رَجُلَانِ فِيْ سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلَاةَ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ، فَتَيَّمَمَا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا، ثُمَّ وَجَدَا المَّاءَ فِي الْوَقْتِ، فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوْءَ وَلَمْ يُعِدِ الآخَرُ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ لِلَّذِيْ لَمْ يُعِدْ : أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلَّذِيْ تَوَضَّأَ وَأَعَادَ: لَكَ الْأَجْرَ مَرَّتَيْنِ.
“Ada dua orang laki-laki bepergian, lalu tibalah waktu shalat dan mereka tidak memiliki air. Mereka pun bertayammum dengan tanah yang suci, lalu mereka shalat. Kemudian mereka menemukan air di dalam waktu shalat tersebut (belum masuk waktu shalat berikutnya). Salah satu dari mereka mengambil air wudhu (dan mengulangi shalatnya), sementara yang lain tidak. Kemudian mereka datang kepada Rasulullah a dan menyampaikan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, ”Engkau telah sesuai dengan Sunnah dan shalatmu sudah cukup (sah).” Dan bersabda kepada yang berwudhu dan mengulangi (shalatnya), ”Engkau mendapatkan dua pahala.” HR. Abu Dawud : 338, lafazh ini miliknya dan Nasa’i : 433. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani tdalam Shahih Sunan Abu Dawud : 327)

[5] Bagimana dengan arah kiblatnya ? Jawabnya Bahwa shalat menghadap kiblat merupakan rukun shalat . Akan tetapi diperbolehkan shalat dengan tidak menghadap ke kiblat dalam dua keadaan, antara lain :
Pertama :
Ketika melakukan shalat sunnah bagi seseorang yang berada di dalam kendaraan. Para ulama’ telah bersepakat tentang diperbolehkannya melakukan shalat sunnah diatas kendaraan dengan mengikuti arah kendaran tersebut, dan tidak disyaratkan untuk menghadap kiblat. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma , ia berkata;

كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قَبِلَ أَيُ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَيُوْتِرُ عَلَيْهَا غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّيْ عَلَيْهَا الْمَكْتُوْبَةَ
“Rasulullah shalallahu alaihi wasallam (shalat) diatas kendaraan(nya) (menghadap) kemana saja (kendaraan tersebut) menghadap, (ketika itu) beliau melakukan (Shalat) Witir. Hanya saja beliau tidak melakukan shalat wajib (diatas kendaraan).” (HR. Bukhari: 1074 dan Muslim : 700, lafazh ini milik keduanya).

Kedua : Dalam keadaan takut. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika engkau dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah : 239).

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata;

فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ أَشَدُّ مِنْ ذَلِكَ صَلُّوْا رِجَالًا قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبَلِي الْقِبْلَةَ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبَلِيْهَا
“Apabila rasa takut lebih mencekam dari yang demikian itu, maka shalatlah sambil berdiri, sambil berjalan, atau sambil berkendaraan, baik menghadap (ke arah) kiblat maupun menghadap (kearah) selainnya.” (HR. Bukhari : 4261, lafazh ini miliknya dan Ibnu Majah : 1258).

Tapi kalau kondisi kesulitan untuk menghadap kiblat maka sebagaimana kondisi-kondisi sebelumnya, seperti halnya berdiri dalam shalat adalah rukun akan tetapi kalau kesulitan melakukannya maka boleh di lakukan dengan duduk, demikian juga dengan masalah menghadap kiblat.

Syaikh Abu malik Kamal hafidzahullah mengatakan :
• Kewajiban shalat tepat waktu lebih penting daripada kewajiban menghadap kiblat. Sehingga misalnya seorang telah melakukan shalat Zhuhur, kemudian dia safar (naik kendaraan) dan ia mengetahui bahwa ia akan sampai tujuan setelah masuk waktu maghrib, maka saat itu ia wajib melakukan shalat Ashar diatas kendaraannya.
Wallahu a’lam.

ABU GHOZIE AS-SUNDAWIE