Ustadz Unknown |

KHUTBAH JUM’AT PAKAI TONGKAT



SOAL :
Bismillah. Afwan ana mau bertanya. Apakah ada sunnahnya menggunakan tongkat untuk di mimbar masjid ? Sebab di beberapa tempat masjid alhus sunnah demikian. Ada juga yang tidak ada tongkat. Mohon penjelasan...dari Cahyo Santoso di Sidoarjo.

JAWAB :
Terkait Hukum khatib bertekan kepada tongkat ketika khutbah ada khilaf dikalangan para ulama. Ada yang mengatakan mustahab (dianjurkan) seperti apa yang dipegang oleh madzhab jumhur para ulama dari kalngan madzhab Hanbaliyah, malikiyah dan Syafi’iyah.

Imam Malik rahimahullah mengatakan :

وذلك مما يستحب للأئمة أصحاب المنابر ، أن يخطبوا يوم الجمعة ومعهم العصي يتوكؤون عليها في قيامهم ، وهو الذي رَأَيْنا وسَمِعْنا

“Dan diantara yang dianjurkan bagi para imam (yang khutnah diatas) mimbar-mimbar agar mereka berkhutbah pada hari jum’at bersamnya tongkat mereka bertekan pada tongkat tersebut ketika berdirinya karena itulah yang kami lihat dan kami dengar” ( Al-Mudawanah Al-Kubra 1/151)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata :

أحب لكل من خطب - أيَّ خطبة كانت - أن يعتمد على شيء

“Aku menyukai bagi yang berkhutbah apapun khtbahnya agar bertekan pada sesutu” (Al-Umm 1/272) Maksudnya disini termasuk kepada tongkat atau lainnya yang sejenis.
Al-Bahuty Al-Hanbali rahimahullah berkata :

ويسن أن يعتمد على سيف أو قوس أو عصا بإحدى يديه

“Dan disunnahkan bertekan pada pedang atau busur panah atau tongkat dengan salah satu tangannya” (Kasyaaful Qina’ 2/36, Al-Inshaf 2/397)

Adapun yang dijadikan dalil oleh mereka adalah perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dimana beliau shalallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dengan bertekan pada sesutu terkadang tongkat, busur panah, atau pedang.

Seperti didalam Riwayat berikut :

شُعَيْبُ بْنُ زُرَيْقٍ الطَّائِفِيُّ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى رَجُلٍ لَهُ صُحْبَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَالُ لَهُ الْحَكَمُ بْنُ حَزْنٍ الْكُلَفِيُّ فَأَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا قَالَ وَفَدْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَابِعَ سَبْعَةٍ أَوْ تَاسِعَ تِسْعَةٍ فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ زُرْنَاكَ فَادْعُ اللَّهَ لَنَا بِخَيْرٍ فَأَمَرَ بِنَا أَوْ أَمَرَ لَنَا بِشَيْءٍ مِنْ التَّمْرِ وَالشَّأْنُ إِذْ ذَاكَ دُونٌ فَأَقَمْنَا بِهَا أَيَّامًا شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ ثُمَّ قَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَنْ تُطِيقُوا أَوْ لَنْ تَفْعَلُوا كُلَّ مَا أُمِرْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ سَدِّدُوا وَأَبْشِرُوا

Syuaib bin Zuraiq Ath-Thaifi, ia berkata, "Aku pernah duduk di samping seseorang yang mempunyai hubungan persahabatan dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam , ia bernama Hakam bin Hazn Al Kulafi. Lalu dia mulai berbincang dengan kami, katanya, "Aku pernah jadi datang menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan sebanyak tujuh atau sembilan orang. Setelah kami masuk menghadap beliau, kami berkata, "Wahai Rasulullah, kami datang mengunjungi anda, maka doakanlah kebaikan untuk kami. Lalu beliau menyuruh untuk kami supaya disuguhi kurma, dan ketika itu suasana dalam kondisi lemah. Maka kami tinggal di Madinah beberapa hari, kami turut mengikuti pelaksanaan shalat Jum 'at bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ketika itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berdiri sambil bertopang pada tongkat atau busur. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan beberapa kata-kata yang sederhana, baik dan penuh berkah, kemudian bersabda, "Wahai saudara-saudara, sesungguhnya kalian tidak akan mampu atau tidak akan dapat melaksanakan semua yang telah diperintahkan kepada kalian, tapi tunjukkanlah jalan yang lurus dan sampaikan berita gembira. (HR Abu Dawud : 1096)

Syaikh Al-Albani rahimahullah menghasankan hadits diatas dikitab shahih Abu dawud, akan tetapi sebagian ulama ada yang melemahkannya, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Hadits ini sanadnya tidak kuat (Irsyadul Faqih 1/196)

Didalam kitab Mausu’ah Fiqhiyah disebutkan :

أَنْ يَعْتَمِدَ الْخَطِيبُ عَلَى قَوْسٍ أَوْ سَيْفٍ أَوْ عَصًا، لِمَا رَوَى الْحَكَمُ بْنُ حَزْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال: وَفَدْتُ إِلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. . . فَأَقَمْنَا أَيَّامًا شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ.

Hendaknya bagi Khatib untuk bertekan dengan Busur panah atau pedang atu tongkat berdasarkan riwayat dari Al-Hakam bin Hazan ia berkata Aku pernah jadi duta menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam... Maka kami tinggal di Madinah beberapa hari, kami turut mengikuti pelaksanaan shalat Jum 'at bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ketika itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berdiri sambil bertopang pada tongkat atau busur. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan beberapa kata-kata yang sederhana, baik dan penuh berkah” (Mausu’ah al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 19/182)

Pendapat Hanafiyyah mengatakan bahwa bertekan kepada tongkat atau yang lainnya saat berkhutbah adalah Makruh, walaupun sebagian ulamanya menyelisihi pendapat ini. Akan tetapi yang jadi pegangan madzhab hanafi adalah makruh.

Didalam Fatwa al-Hindiyah kitab rujukan dalam madzhab Hanafiyah disebutkan :

ويكره أن يخطب متكئا على قوس أو عصا , كذا في الخلاصة , وهكذا في المحيط

“makruh berkhutbah bertekan pada busur, atau tongkat demikian lah disebutkan didalam kitab kholashah, demikian juga didalam kitab Al-Muhith (Al-Fatawa Al-Hindiyah 1/148)

PENDAPAT YANG ROJIH :

Pendapat yang rojih didalam maslah ini adalah ada perinciannya. Yaitu kalau dibutuhkan dan diperlukan menggunakan tongkat maka sunnah tapi kalau tidak diperlukan maka tidak perlu untuk menggunakan tongkat. Memang Rasulullah sahalallahu alaihi wasallam pernah berkhutbah bertekan kepada Busur, tongkat atau pedang terlepas hadits yang dijadikan dalilnya shahih atau tidak karena ada khilaf para ulama tentang keabsahan hadits tersebut, anggap kalau hadits itu shahih pun bukan berarti harus bertekan pada tongkat, akan tetapi itu dibawa kepada pemahaman dilakukan pada saat-saat tertentu, seperti ketika ada hajat dalam peperangan misalnya atau dalam perjalanan.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah berkata :

وَلَمْ يَكُنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ سَيْفًا وَلَا غَيْرَهُ، وَإِنَّمَا كَانَ يَعْتَمِدُ عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصًا قَبْلَ أَنْ يَتَّخِذَ الْمِنْبَرَ وَكَانَ فِي الْحَرْبِ يَعْتَمِدُ عَلَى قَوْسٍ، وَفِي الْجُمُعَةِ يَعْتَمِدُ عَلَى عَصًا. وَلَمْ يُحْفَظْ عَنْهُ أَنَّهُ اعْتَمَدَ عَلَى سَيْفٍ، وَمَا يَظُنُّهُ بَعْضُ الْجُهَّالِ أَنَّهُ كَانَ يَعْتَمِدُ عَلَى السَّيْفِ دَائِمًا، وَأَنَّ ذَلِكَ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الدِّينَ قَامَ بِالسَّيْفِ

“(ketika berkhutbah) Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tangannya tidak bertekan pada pedang atau yang lainnya akan tetapi ia bertekan pada busur atau tongkat sebelum dibutakan mimbar. Beliau bertekan pada busur ketika (berkhutbah) dalam peperangan, dan beliau bertekan pada tongkat ketika khutbah jum’at. Tidak dijumpai riwayat (yang shahih) yang mengatakan beliau berkhutbah tengannya bertekan pada Pedang. Sebagian orang yang jahil menyangka bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam selalu bertekan pada pedang ketika berkhutbah yang demikian sebuah isyarat yang menunjukan bahwa Islam ditegakkan dengan pedang” (Zadul Ma’ad 1/429)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

قوله : ويعتمد على سيف أو قوس أو عصا أي : يسن أن يعتمد حال الخطبة على سيف ، أو قوس ، أو عصا واستدلوا بحديث يروى عن النبي صلّى الله عليه وسلّم في صحته نظر ، وعلى تقدير صحته ، قال ابن القيم : إنه لم يحفظ عن النبي صلّى الله عليه وسلّم بعد اتخاذه المنبر أنه اعتمد على شيء . ووجه ذلك : أن الاعتماد إنما يكون عند الحاجة ، فإن احتاج الخطيب إلى اعتماد ، مثل أن يكون ضعيفاً يحتاج إلى أن يعتمد على عصا فهذا سنة ؛ لأن ذلك يعينه على القيام الذي هو سنة ، وما أعان على سنة فهو سنة ، أما إذا لم يكن هناك حاجة ، فلا حاجة إلى حمل العصا

“Perkataan : “Dan pertekan kepada pedang atau busur atau tongkat” maksudnya disunnahkan bagi khatib ketika khutbahnya bertekan pada pedang atau busur atau tongkat. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu alaihi wasallam yang keshahihannya masih diperbincangkan kalupun hadits itu mau dikatakan shahih Ibnu Qayyim berkata, tidak ada keterangannya dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berkhutbah bertekan pada sesuatu setelah dibuatkan Mimbar untuknya. Yang demikian itu menunjukan bahwa bertekan (pada tongkat atau lainnya) itu apabila diperlukan, misalnya kalau seseorang yang lemah sehingga perlu pegangan kepada sesuatu maka ini adalah sunnah, karena dapat membantunya untuk berdiri yang berdiri ini adalah sunnah, dan apa saja yang membantu kepada terlaksananya sunnah maka hukumnya pun sunnah, adapaun apabila tidak ada keperluan untuk menggunakan tongkat, maka tidak perlu untuk menggunakan tongkat” (syarah Al-Mumti’ 5/62-63).

KESIMPULAN :
Ketika berkhutbah seorang khotib hendaklah berdiri dan disunahkan bertekan kepada sesuatu seperti tongkat ketika ada kebutuhan, dan tidak dilakukan apabila tidak ada keperluannya, akan tetapi hendaklah tangan dibiarkan kebawah atau tangan kanan berpegangan dengan tangan kiri.

Manshur Al-Buhutiy Al-Hanbali rahimahullah berkata :

وَإِنْ لَمْ يَعْتَمِدْ عَلَى شَيْءٍ أَمْسَكَ شِمَالَهُ بِيَمِينِهِ أَوْ أَرْسَلَهُمَا عِنْدَ جَنْبَيْهِ وَسَكَّنَهُمَا فَلَا يُحَرِّكُهُمَا وَلَا يَرْفَعُهُمَا فِي دُعَائِهِ حَالَ الْخُطْبَةِ وَيَقْصِدُ الْخَطِيبُ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَلَا يَلْتَفِتُ يَمِينًا وَلَا شِمَالًا لِفِعْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَنَّ فِي الْتِفَاتَةِ عَنْ أَحَدِ جَانِبَيْهِ إعْرَاضًا عَنْهُ

“dan apabila Khatib tidak bertekan pada sesuatupun maka ia boleh tangan kanannya berpegangan dengan tangan tangan kirinya atau dijulurkan ke bawah disamping badannya, serta tenang lah jangan banyak gerak tidak diangkat kedua tangannya saat berdo’a ketika khutbah, dan tetaplah menantap ke depan tidak menoleh kekanan dan ke kiri sebagai mana yang dilakukan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam karena kalau menoleh ke sampinnya adalah bentuk berpaling dari yang dihadapannya (Kasyaful Qina’ 3/354) 
Wallahu a’lam.
Abu Ghozie As-Sundawie