‘UMDATUL AHKAM
Kitab Talaq
[314] عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قيْس: أنً أبَا عَمْرِو بْن حَفْص أَنَّ أَبَا
عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ، وَهُوَ غَائِبٌ، وَهُو غَائِب وفي
رواية: طلَقَهَا ثلاثا فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ ، فَسَخِطَتْهُ،
فَقَالَ: وَاللهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكرَتْ ذلِكَ لَهُ، فقالَ: ليْسَ لكَ عَلَيْهِ
نَفَقَة وفي لفظ وَلا سكْنَى فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ
ثُمَّ قَالَ: «تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي ، اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ
أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإنَهُ رَجُل أعمَى، تَضَعِينَ ثِيابَكِ عِنْدَهُ، فَإذا حللتِ
فآذنيني قَالتْ: فَلَمَا حلَلتُ ذكرت لَهُ أن مُعَاوِيَةَ بنَ أبي سُفْيَانَ وأبَا
جَهْم خَطَبَاني فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أما
أبو جَهْم فلا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهٍ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ
لَا مَالَ لَهُ ، انكحِي أسامة بنَ زَيد فَكَرِهَتْهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ
زَيْدٍ» فَكَرِهْتُهُ، ثُمَّ قَالَ: «انْكِحِي أُسَامَةَ»، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ
اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا، وَاغْتَبَطْتُ بِهِ
[314] “Dari Fathimah
binti Qais bahwa Abu Amer Bin Hafsh telah menjatuhkan talaq tiga kepadanya
ketika Abu Amer sedang tidak ada dirumah. Dalam riwayat lain : “Dia mentalaqnya
dengan talaq tiga, kemudian ia mengirimkan wakilnya untuk menemui fathimah
dengan membawa tepung gandum. Kemudian Fathimah marah kepadanya, lalu ia
(wakil) itu berujar , Wallahi engkau tidak memiliki hak sedikitpun atas kami”
maka kemudian Fathimah datang menemui Nabi shalallahu alaihi wasallam untuk
menceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau bersabda, “Engkau tidak
memiliki hak nafkah atas dia”, dalam lafadz lain, “tidak juga tempat tinggal”
Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk menunggu masa
‘Iddah di rumah Ummu Syarik. Lalu beliau bersabda, “Ia (umu Syarik) itu wanita
yang kerap kali di datangi para sahabatku, kalau begitu ber’iddah lah engkau di
rumah Ibnu Umi Maktum, karena ia adalah lelaki yang buta (sehingga) engkau
dapat melepas pakaian luar mu disisinya. Apabila masa ‘iddahmu sudah habis
beritahukanlah kepada ku”. Fathimah berkata, “tatkala akau selesai menjalani
masa ‘iddahku maka aku menceritakan kepada Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufiyan dan Abu Jahm melamarku (mendengar hal
itu) Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Adapun Abu Jaham maka dia
tidak dapat meletakkan tongkatnya dari pundaknya, sementara Mu’awiyah bin Abu
Sufyan maka dia orang miskin yang tidak punya harta kekayaan. Karena itu nikah
lah engkau dengan Usamah bin Zaid. Namun Fathimah tidak tertarik kepada Usamah
bin Zaid’, kemudian Beliau bersabda (lagi), Nikahlah engkau dengan Usamah bin
Zaid”, kemudian aku menikah dengan Usamah bin Zaid, maka kemudian Allah
menjadikan kebaikan pada dirinya, dan akupun merasa bahagia dengannya”.
MAKNA BEBERAPA
LAFADZ :
Abu Amer namanya Abdul Hamid ada yang mengatakan ahmad ada juga yang
mengatakan namanya adalah kunyahnya itulah.
PEMBAHASAN HADITS :
Hukum terkait wanita yang ditalak tiga apakah mendapatkan nafkah dan
tempat tinggal atau tidak ?
PELAJARAN (FAEDAH) DARI HADITS :
[1] Perkataan menjatuhkan talak tiga bukan berarti talak tiga
sekaligus dengan satu kali ucapan dalam satu majlis, akan tetapi maksudnya Abu
Amer ini telah mentalak istrinya sebanyak dua kali dan ini yang ke tiga
kalinya, disebut Talaq Bain Kubra.
[2] Seorang isteri yang telah dijatuhi talak tiga maka tidak berhak
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal pada masa ‘iddahnya selama dia tidak
dalam keadaan hamil.
Allah Ta’ala berfirman :
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا
بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya. (QS At-Thalaq : 6)
Ayat diatas menunjukan bahwa wanita hamil yang ditalak ia berhak
mendapatkan nafkah.
Dalam masalah hak wanita yang ditalaq tiga ada perbedaan pendapat
diantara para ulama :
[a] Masalah Nafkah : ada dua pendapat :
Pendapat pertama : Berhak mendapatkan nafkah dan ini adalah madzhab
Abu Hanifah. Pendapatnya ini lemah karena jelas dari hadits dalam bahasan kita.
Pendapat Kedua : Tidak berhak mendapat nafkah dan ini madzhab jumhur
seperti Syafi’i, Maliki, Hanbali, mereka berdalil dengan hadits pada pembahsan
diatas.
[b] Masalah tempat tinggal : ada dua pendapat juga.
Pendapat pertama : Tidak mendapatkan hak tempat tinggal, dan ini
madzhabnya Ahmad, Dawud Adz-Dzahiri dan perkataan ibnu Abbas radliyallahu
anhum. Mereka berdalil dengan hadits pada pembahasan diatas.
Pendapat kedua : Mendapatkan tempat tinggal. Dan ini madzahabnya
jumhur ulama mereka berdalil dengan firman Allah :
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. (QS At-Thalaq : 6)
Akan tetapi pendapat ini lemah karena maksud ayat adalah terkait
talaq roj’i bukan pada kasus talaq bain.
Jadi kesimpulannya :
1. Wanita yang di talak bain kubra (talak tiga) yang bukan sedang
hamil, maka tidak berhak baginya mendapat nafkah ataupun tempat tinggal ketika
masa menjalani ‘iddah.
2. Wanita yang ditalak tiga apabila hamil maka ia berhak mendapatkan
nafkah saja tanpa tempat tinggal.
Allah Ta’ala berfirman :
وَإِن
كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin” (QS At-Thalaq :
6)
3. Wanita yang ditalaq dengan talaq raj’i maka dia berhak mendapat
nafkah serta tempat tinggal apabila saat menjalani ‘iddah. Karena statusnya
masih suami istri.
[3] Boleh melakukan lamaran secara sindiran terhadap perempuan yang
ditalak tiga yang tengah menjalani masa ‘iddah, sebagaimana juga boleh kepada
wanita yang di tinggal mati suaminya dalam masa ‘iddahnya.
[4] Boleh melakukan ghibah kalau dalam rangka memberikan nasihat
atau peringatan.
[5] Boleh menikah dengan pasangan yang tidak sekufu (sepadan) dari
sisi nasab atau harta asalkan walinya Ridha, karena yang harus sekufu itu
adalah dalam hal agama.
[6] Wanita haruslah memisahkan diri dari kaum laki-laki dan
menjauhkan diri dari tempat-tempat mereka dan dari tempat-tempat berkumpulnya
mereka.
[7] Wajib memberi nasihat kepada yang meminta nasehat karena siapa
saja yang meminta nasehat kepada kita itu berarti mereka telah memberikan
amanahnya kepada kita, sementara menunaikan amanah adalah wajib.
[8] Menjalankan perintah Nabi shalallahu alaihi wasallam adalah
suatu kebaikan dan mengandung berkah, baik orang-orang menyukainya ataupun
tidak.
[9] Boleh mencerai istri dari kejauhan tidak harus berhadapan.
[10] Hukum wanita memandang kaum laki-laki ada perbedaan dikalangan
para ulama :
Pendapat pertama : Haram baik dengan syahwat ataupun memamndang
dengan tanpa syahwat. Imam An-Nawawie merojihkan pendapat ini berdalil dengan
firman Allah :
وَقُل
لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung. (QS An-Nuur : 31)
Imam An-Nawawi berkata : Adapun kalau melihat dengan syahwat maka
jelas hukumnya haram dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Pendapat kedua : Boleh kalau aman dari Fitnah, dari Aisyah
radliyallahu anha ia berkata :
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي
بِرِدَائِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ
Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menutupiku dengan
pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang
bermain di dalam Masjid (HR Bukhari dan Muslim)
[11] Boleh bagi wali untuk menolak calon mantu karena sebab Faqir
apabila dikhawatirkan akan memudharatkan istrinya kelak.
[12] Keutamaan
Fathimah Binti Qais didalam memenuhi perintah Rasul.
[13] Bermusyawarah
dan minta pendapat ahli ilmu.
Abu Ghozie
As-Sundawie.