PEMBAHASAN KITAB USHULUS SUNNAH
Al-Imam Al-Humaidi
rahimahullah berkata :
السُنَّةُ عِنْدَنَا: أنْ يُؤْمِنَ الرَّجُلُ بالقدَرِ خَيْرِهِ
وَشَرِهِ ، حُلْوِهِ وَمُرِّهِ ، وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ
لِيُخْطِئَهُ, وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ ، وَأَنَّ ذَلِكَ
كُلَّهُ قَضَاءٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّوَجَلَّ
Sunnah menurut kami
adalah seseorang beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk, yang manis
maupun yang pahit. Sepatutnya ia mengetahui bahwa musibah yang menimpa dirinya
tidak akan meleset darinya, dan segala yang meleset darinya tidak akan
menimpanya. Semua hal itu adalah al-qadha (ketentuan) dari Allah ‘Azza wa
Jalla.
PENJELASAN :
Lafadz “menurut
kami” maksudnya menurut kami Ahlus Sunnah wal jama’ah dari kalngan salafus
shalih. Sunnah disini maksud nya Aqidah , disebut demikian karena dalam masalah
aqidah tidak ada ruang ijtihad kecuali hanya bersumber Al-Qur’an dan Sunnah
yang shahih. Takdir yang baik dan yang buru, maksud yang buruk yaitu buruk
didalam pandangan yang ditakdirkan (makhluk) karena dalam pandangan Allah bahwa
semua yang diciptakan Allah adalah baik tidak ada yang buruk.
Qadar
adalah rencana Allah adapun Qadha pelaksanaannya, jadi Qadar dulu baru kemudian
Qadha
Inilah poin pertama
dari prinsip Aqidah yang dibahas pertama kali oleh Imam Al-Humaidi didalam
kitab Ushulus Sunnah yaitu permasalahan tentang Taqdir. Kenapa Imam Al-Humaidi
mengawali dengan pembahasan ini ? karena pada zamannya banyak penyimpangan dari
kelompok sesat dalam masalah taqdir.
Orang yang pertama kali melakukan penyimpangan dalam masalah takdir adalah Ma’bad Al-Juhani di negeri Bashrah pada zaman akhir para Sahabat seperti pada zaman sahabat Ibnu Umar. (HR Muslim : 8)
Iman kepada Takdir
artinya meyakini bahwa semua kebaikan dan keburukan terjadi dengan ketentuan
takdir Allah Ta’ala.
Takdir adalah ketentuan Allah Ta’ala yang berlaku bagi setiap makhluk-Nya, sesuai dengan ilmu, dan hikmah yang dikehendaki-Nya.
Beriman terhadap
takdir merupakan bagian dari Rukun Iman. Dan keimanan seseorang belum sempurna,
sampai ia meyakini bahwa semua yang menimpanya baik berupa kebaikan atau
keburukan adalah dengan takdir Allah Ta’ala.
Diriwayatkan
dari Jabir bin ’Abdillah radliyallahu anhu , Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam bersabda;
لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ
حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ مَا
أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ
لِيُصِيْبَهُ.
“Tidak beriman
seorang hamba, sampai ia beriman dengan takdir yang baik dan yang buruk, sampai
ia mengetahui bahwa apa yang menimpanya tidak akan meleset darinya dan apa yang
meleset darinya tidak akan menimpanya.” (HR. Tirmidzi : 2144. Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah 5 : 2439).
Seorang
muslim dituntut untuk mengimani takdir dengan pemahaman yang benar dan
keyakinan yang kuat, yang tidak ada keraguan sedikitpun. Pernah suatu ketika
Ibnu Ad-Dailami mendatangi Ubay bin Ka’ab y, ia mengatakan, ”Di hatiku (masih)
ada ganjalan tentang takdir.” Maka dengan nada tinggi Ubay bin Ka’ab
radliyallahu anhu menjawab;
وَاللَّهِ لَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا قَبِلَهُ اللَّهُ
مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
”Demi
Allah, seandainya engkau berinfaq emas sebesar gunung Uhud, maka Allah tidak
akan pernah menerima infaq tersebut darimu hingga engkau beriman terhadap
takdir.” (HR Abu Dawud : 4699, As-Silsilah Ash-Shahihah, 5/2439).
Iman
kepada qadha’ dan qadar tidaklah sempurna kecuali dengan empat perkara yang
dinamakan tingkatan takdir atau rukun takdir. Empat perkara ini menjadi pintu
untuk memahami masalah takdir. Dan iman kepada takdir tidaklah sempurna kecuali
dengan mewujudkan empat perkara di atas, karena sebagian dari perkara tersebut
terkait dengan yang lainnya. Maka barangsiapa meyakini semuanya, imannya kepada
takdir telah sempurna. Dan barangsiapa mengurangi salah satu atau lebih, maka
runtuhlah imannya kepada takdir. Tingkatan takdir adalah :
a.
Al-Ilmu (ilmu Allah)
Yaitu
mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu, baik yang telah lalu,
yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Baik yang berkaitan dengan
perbuatan Allah Ta’ala maupun perbuatan hamba. Semuanya diketahui-Nya secara
global ataupun terperinci dengan Ilmu-Nya yang Dia bersifat dengannya secara
azali (sebelum diciptakannya makhluk) dan abadi (selamanya, tidak ada
akhirnya). Hal ini sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan;
وَعِنْدَهُ
مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي
ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِيْ كِتَابٍ مُبِيْنٍ.
“Dan
pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Tidak ada
sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Tidak jatuh sebutir
biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz)” (QS. Al-An’am :
59).
b.
Al-Kitabah (pencatatan)
Yaitu
mengimani bahwa Allah Ta’ala menulis takdir setiap sesuatu hingga Hari Kiamat.
Allah Ta’ala telah menuliskan takdir seluruh makhluk-Nya lima puluh ribu tahun
sebelum penciptaan langit dan bumi. Hal ini sebagimana hadits yang diriwayatkan
dari ’Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallahu anhuma, bahwa Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bersabda;
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيْرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah
telah menuliskan takdir para makhluk(-Nya) lima puluh ribu tahun sebelum
penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim : 2653).
Al-Kitabah ini dibagi menjadi empat, antara lain :
[1]
Al-Kitabah Al-Azaliyyah, yaitu catatan takdir yang ada di Lauhul Mahfudz.
[2]
Al-Kitabah Al-Umriyyah, yaitu catatan takdir sekali seumur hidup, yakni pada
waktu janin berumur seratus dua puluh hari (empat bulan).
[3]
Al-Kitabah Al-Hauliyyah, yaitu catatan takdir tahunan, yakni yang terjadi pada
malam Lailatul Qadar.
[4]
Al-Kitabah Al-Yaumiyyah, yaitu catatan takdir harian.
c.
Al-Masyi’ah (kehendak Allah)
Yaitu
mengimani bahwa semua yang terjadi di alam semesta ini adalah atas kehendak
Allah Ta’ala. Al-Masyi’ah atau Al-Iradah dibagi menjadi dua, antara lain :
[1]
Masyi’ah Syar’iyyah, yaitu kehendak yang Allah Ta’ala ridha, tetapi belum tentu
terjadi. Seperti keimanan dan amal shalih.
[2]
Masyi’ah Kauniyyah, yaitu kehendak yang Allah Ta’ala belum tentu ridha, tetapi
terjadi. Seperti segala sesuatu yang terjadi dijagat raya pada makhluknya,
berupa keburukan , musibah , dll.
d. Al-Khalqu
(penciptaan)
Yaitu mengimani
bahwa Allah Ta’ala adalah yang menciptakan segala sesuatu yang terjadi; yang
baik, yang buruk, kekufuran, iman, ketaatan dan kemaksiatan semuanya adalah
dengan kehendak dan takdir-Nya, serta Dia lah yang menciptakannya. Firman Allah
Ta’ala ;
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيْرًا.
“Dan Dia
telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan : 2. )
Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu termasuk yang dimata keburukan misalnya maka itu semua adalah tentunya dengan hikmah yang besar dibalik itu.
Adapun di antara
buah memahami takdir adalah agar menumbuhkan tawakkal yang kuat kepada Allah
Ta’ala, dan agar seorang tidak terlalu berduka cita terhadap apa yang luput
darinya serta tidak terlalu bersuka cita terhadap apa didapatkannya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala ;
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي الْأَرْضِ
وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِيْ كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ
ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيْرٌ. لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا
تَفْرَحُوْا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ.
“Tidak ada suatu
bencanapun yang menimpa (kalian) di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian
sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kalian, dan supaya kalian tidak terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid : 22 – 23).
Akan tetapi tidak
diperbolehkan seorang melakukan kemaksiatan beralasan dengan takdir. Disebutkan
dalam suatu riwayat dari ’Umar bin Khaththab radliyallahu anhu, bahwa beliau
pernah akan memotong tangan seorang pencuri. Tiba-tiba pencuri tersebut
berkata;
مَهْلًا يَا أَمِيْرَ
الْمُؤْمِنِيْنَ، فَإِنَّمَا سَرَقْتُ بِقَدَرِ اللَّهِ. فَقَالَ: وَنَحْنُ
إِنَّمَا نَقْطَعُ بِقَدَرِ اللَّهِ.
“Sebentar, wahai
Amirul Mukminin, sesungguhnya aku mencuri ini atas takdir Allah.” ‘Umar y
menjawab, “Kami memotong tanganmu ini juga dengan takdir Allah.” (Syarhu
Tsalatsatil Ushul, syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah)