Bunga Bank Tidak Wajib Dibayar
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa
ba’du,
Diantara dilema setelah dilanda utang bank adalah
kewajiban untuk membayar bunga pinjaman. Di masyarkat kita, bunga dilegalakan
oleh negara. Lembaga keuangan dibenarkan untuk mengambil margin dari pembiayaan
yang dikucurkan ke nasabah. Sehingga bank bisa menggunakan payung hukum untuk
meminta nasabahnya untuk menyerahkan riba pinjaman.
Tapi kita tidak berbicara soal aturan negara dan
regulasi yang diberikan pemerintah terhadap lembaga keuangan di Indonesia.
Urusan ini kita adalah bagaimana syariat mengatur.
Sebelumnya, mohon untuk tidak disalah-pahami. Tulisan
ini sama sekali tidak untuk memotivasi anda agar semakin rajin utang bank.
Apalagi mengajak anda untuk mengundang bank agar mengaudit usaha anda dan
mengucurkan kredit untuk anda. Sama sekali tidak.
Tapi tulisan ini upaya untuk memberi jawaban bagi
mereka yang sudah larut dalam riba bank. Di posisi tercekik dengan utangan bank
yang mengharuskan adanya bunga besar.
Saya awali dari pernyataan,
Riba tidak wajib dibayarkan secara syariat.
Ada banyak alasan untuk pernyataan ini. Tapi satu yang
harus anda catat, kita memandangnya dari sudut pandang syariat.
Pertama, bahwa memberi bunga bank berarti sama dengan memberi
makan orang lain dengan riba
Kita tidak boleh berfikir, bahwa ketika terjadi
transaksi riba, yang kena dosa hanya yang menikmati. Karena untuk satu
transaksi riba, ada banyak pihak yang terkena imbasnya. Meskipun yang menikmati
ribanya hanya satu.
Dari Jabir dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma,
beliau mengatakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ
سَوَاءٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat orang yang makan riba, pemberi makan riba, orang yang mencatat
transaksinya dan kedua saksi transaksi riba.
Beliau mengatakan, “Mereka semua sama.” (HR.
Muslim 4177, Nasai 1248 dan yang lainnya).
Yang dimaksud pemberi makan riba adalah nasabahnya.
Dia yang memberi bunga kepada bank.
Artinya, ada dosa tambahan yang akan didapatkan oleh
mereka yang mendapatkan utangan dari bank, yaitu dosa memberi makan riba ke
bank. Dosanya kena laknat.
Kedua, mengapa korban riba dilaknat?
Jawabannya, karena telah melakukan aktivitas tolong
menolong dalam dosa dan maksiat. Sementara kita dilarang untuk tolong menolong
dalam dosa dan maksiat.
Allah berfirman,
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ
“Jangan melakukan tolong menolong dalam dosa dan
tindakan melampaui batas.” (QS. al-Maidah: 2)
Tolong menolong dalam riba, berarti tolong menolong
dalam transaksi yang haram dengan sepakat ulama.
Ibnu Qudamah mengatakan,
كلُّ قرضٍ شرطَ فيه أن يزيدَه – فهو
حرام بغَيْر خلاف
Semua utang yang mempersyaratkan harus ada tambahan,
hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat. (al-Mughni, 4/390).
Ketiga, klausul adanya tambahan saat pelunasan utang,
termasuk perjanjian yang bathil. Dan setiap perjanjian yang bathil, tidak
diberlakukan. Meskipun bisa jadi transaksinya tetap berjalan.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ
اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
Semua syarat yang tidak ada dalam kitab Allah maka
statusnya batal, meskipun jumlahnya 100 syarat. (Bukhari & Muslim).
Yang dimaksud syarat yang tidak ada dalam kitab Allah
adalah ketentuan dan kesepakatan yang bertentangan dengan aturan Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ketentuan semacam ini dengan
kebatilan. Dan ketentuan adanya riba, termasuk ketentuan batil.
Ibnul Mundzir mengatakan,
أجْمعوا على: أنَّ المُسْلِف إذا شرطَ
على المستلِف زيادةً أو هديَّة، فأسلفَ على ذلك – فهُو ربا
Ulama sepakat bahwa jika orang yang memberi utang
mempersyaratkan harus ada tambahan atau hadiah, kemudian dia mau memberi utang,
maka ini riba. (Dinukil dari al-Mughni, 4/390).
Ini semua menjadi bukti bahwa bunga bank, tidak wajib
dibayarkan secara syariat..
Aturan Riba Dilegalkan Negara
Yang menjadi kendala, orang yang berutang di bank,
akan menghadapi peraturan pemerintah yang melegalkan bank untuk mengambil bunga
atas pinjaman yang diberikan ke nasabah.
Tentu jika nasabah diberi pilihan antara bayar bunga
dan tidak bayar bunga, mereka akan memilih tidak bayar bunga. Namun bank butuh
margin. Ketika memberikan kredit, bank telah menetapkan plafon-nya.
Hanya saja, ini semua kembali kepada kebijakan bank. Bisa
jadi bank bank mencabut kewajiban bunganya dan bisa jadi, bunga itu terus
bertambah (bunga progresif).
Selama di sana ada beberapa pilihan, di sinilah
peluang bagi nasabah. Dia bisa jadikan ini sebagai celah untuk menghindari riba
bank.
Kredit Macet dan Performa Bank
Di tempat kita, bank itu ibarat kerajaan. Penguasa
tertinggi ada di BI. Promosi jabatan tingkat cabang, bahkan sangat dipengaruhi
kebijakan BI. Jangankan kinerja karyawan bank, sampai nasabah-pun BI punya
datanya. BI checking adalah salah satu bukti bagaimana sentralisasi data di
dunia perbankan.
Pertemuan saya dengan Pak Mirza
Akhir Mei 2016, dalam kunjungan ke KPMI semarang,
Allah mempertemukan saya dengan bapak H. Achmad Mirza. Sebenarnya maksud
kedatangan kami adalah menikmati nasi briyani di kedai Pak Mirza. Namun
mengingat ketika itu beliau sedang ada di tempat, kami diperkenalkan oleh KPMI
Semarang.
Beliau adalah mantan praktisi debitor bank. Beliau
sempat terjerat utang dari berbagai bank, hingga nilai belasan M. seingat saya,
waktu itu beliau menyebut 13 M, dan itu beliau jalani selama belasan tahun.
Utangnya lebih besar dari pada asetnya. Beliau berkesimpulan, kalau saya
mengikuti alur aturan bank, sampai kapanpun cicilan saya tidak akan bisa
selesai.
Salah satu faktornya adalah keterlibatan beliau di
EU (Entrepreneur University), yang mengajarkan prinsip, undang
bank sebanyak-banyaknya untuk ngutangi anda. Semakin banyak bank yang
mengucurkan utang ke anda, berarti anda semakin terpercaya di mata bank. Alhamdulillah,
komunitas ini sudah hancur, bersamaan dengan pimpinannya masuk penjara karena
dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Anda bisa bayangkan, ketika orang sudah punya prinsip
yang tersesat semacam ini. Dia meletakkan standar kejujuran dan kepercaayaan
manusia kepada bank, yang notabene kumpulan orang pemakan riba (baca: orang
fasik). Semoga aliran semacam ini tidak berkembang lagi. Untuk kesekian
kalinya, saya bertemu dengan para korban aliran menyimpang EU ini.
Singkat cerita, Pak Mirza bertanya, jika ada orang
yang terbelit utang riba bank, apa solusi yang bisa diberikan ustad?
Pertannyaan ini memang sering saya dengar. Dalam
banyak forum kajian, banyak orang yang kebingungan dengan nasib utang yang
menjadi tanggungannya. Baik KPR rumah, kredit kendaraan, KTA, termasuk kartu kredit.
Pertanyaan ini sebenarnya berangkat dari pemahaman mereka, bahwa memberi riba
adalah haram. Kalaupun hanya sebatas membayar pokoknya, mungkin bagi mereka
tidak masalah. Tapi riba, selalu melekat di sana.
Saya-pun memberikan jawaban yang normatif.
Dosa melakukan transaksi riba, itu dosa masa silam,
ketika dia membuat kesekapatan dengan bank. Sementara tanggung jawab dia
sekarang adalah bagaimana tidak menambah bunga di bank. Sehingga sebaiknya dia
ikuti aturan bank. Agar tidak kena pinalti, yang itu menambah masalah baginya.
“Berarti dia tidak bisa lepas dari dosa memberi riba
bank?” Lanjut Pak Mirza.
Saya terdiam. Karena memang menurut saya, ini tidak
bisa dihindari.
Beliau sendiri mengakui, para ustad hanya akan
memberikan jawaban normatif. Masalah teknis, ustad tidak tahu. Maklum, para
ustad belum punya pengalaman melepaskan diri dari kredit bank.
Saya hanya bisa menjawab, “Itu tidak bisa dihindari.”
“Saya punya cara untuk menghindari itu..” tegas Pak
Mirza.
“Ustad memang hanya menjelaskan dari sisi hukum
syar’i-nya. Tapi mereka tidak menjelaskan teksnisnya.”
Hingga, mulailah Pak Mirza menceritakan pengalamannya.
Salah satu prinsip yang beliau tekankan adalah membangun mental untuk melawan
riba bank.
Kembali ke masalah penilaian performa bank…
Bahwa adanya kredit macet, sebenarnya menjadi masalah
besar bagi kesehatan bank. Apalagi sampai melelang aset atau jaminan,
bank dinyatakan sakit, jika melelang jaminan.
Ratio Non Performing Loan (NPL) akan semakin meningkat
jika banyak kredit macet. Dan itu termasuk yang ditakuti bank. Bahkan bagi
assesor bank, NPL merupakan salah satu cara untuk menilai fungsi bank tersebut
bekerja baik atau tidak.
Kata Pak Mirza, ketika terjadi kredit macet, semua
karyawan bank dalam ancaman. Mulai dari managemennya, sampai kolektor. Promosi
jabatan mereka sangat dipengaruhi penilaian BI. Ketika bank ini berpenyakit,
ini menjadi kendala mereka untuk naik jabatan. Dan yang lebih ditakutkan lagi,
ini mengancam berkurangnya modal bank.
Marketing kredit (Account Officer – AO) disalahkan,
mengapa debitor semacam ini dikabulkan.
Kolektornya disalahkan, mengapa dia tidak bisa menarik
kredit.
Managemennya disalahkan, mengapa ratio NPLnya
meningkat.
Dst…
Salah satu penyebab NPL meningkat adalah masalah suku
bunga. Salah satu strategi bank adalah membebaskan suku bunga.
Salah satu hasil yang dialami Pak Mirza, beliau pernah
ditagih oleh kolektor bank untuk segera melunasi kartu kreditnya. Pak Mirza
meminta, agar beliau hanya membayar pokoknya, dan dihapuskan bunganya. Tapi
bank menolak. Kondisi ini beliau biarkan selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya
pihak bank yang menghubungi beliau untuk hanya membayar pokoknya saja.
Selesai obrolan, beliau memberikan saya buku agak
tebal sekitar 380 halaman…
“Ini cerita saya, dari mulai awal terjerat utang
sampai bisa bebas utang, tanpa bayar riba ke bank. tapi buku ini versi dummy.
Mohon koreksinya, jika ada yang salah.”
Buku itu berjudul, “Semua Bisa Bebas Utang”
Yang beliau ceritakan di atas hanya penggalan teknis.
Karena teori yang beliau ceritakan di buku, tidak sesederhana yang beliau
sampaikan dalam obrolan singkat.
Dan patut disadari, standar bank beda-beda. Sementara
tidak semua nasabah memiliki mental yang sama dalam menghadapi bank.
Yang mengkhawatirkan, ketika dia di posisi selalu
kalah dengan bank, tapi mencoba melawan, sementara tidak tahu celahnya. Ini
bisa berbahaya. Termasuk piranti yang perlu dipelajari adalah soal hukum
positif di tempat kita. Orang harus kenal.
Sayangnya, di tempat kita belum ada pendampingan bagi
nasabah yang terjerat riba, agar bisa keluar dari bank tanpa membayar bunganya.
Kita butuh tim atau komunitas dari berbagai elemen,
terutama advokat, ahli hukum, manta praktisi bank, mantan debitor sukses dari
riba bank, termasuk para pengajar yang paham ilmu syariat. Mereka perlu
disinergikan untuk menolong orang-orang yang terjerat utang riba. Minimal bisa
bebas dari bunga bank.
Saran ini saya sampaikan ke Pak Mirza, dan beliau
sanggup menjadi pendampingnya. Saat ini beliau sendiri sedang melakukan
beberapa pelatihan para pengusaha dan debitor bank di kudus. Hasilnya
memuaskan, banyak diantaranya telah bebas dari utang riba bank.
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina KPMI Pusat)