HUKUM SUTRAH BAGI MAKMUM YANG MASBUK
SOAL :
Bertanya mengenai sutrah, jika sutrahnya pergi apakah kita maju atau tetap di tempat ? selama ini yang di praktekan kebanyakan ikhwan yaitu maju menuju sutrah baru, tapi ana belum sreg karena belum tahu dalilnya. Dari Wahid di Sorong, Papua.
JAWAB :
Barokallahu fik pak Wahid semoga di mudahkan dalam segala urusan. Tentang masalah yang ditanyakan ada beberapa pendapat dan ada beberapa rinciannya di kalangan para ‘Ulama :
[1] Bagi orang yang shalat sendirian yang menjadikan orang yang duduk dihadapannya sebagai sutrah lalu orang yang duduk tersebut pergi, maka orang yang shalat di syari’atkan untuk mencari dan mendekat kepada sutrah, walaupun harus bergeser ke kanan dan kekiri atau kedepan. Dalilnya adalah keumuman perintah untuk shalat menghadap sutrah (terlepas dari hukumnya wajib atau sunnah), sementara dia sekarang tidak menghadap sutrah.
Dalil mereka adalah :
عَنْ قُرَّةَ بن إياس قَالَ : رَآنِي عُمَرُ وَأَنَا أُصَلِّي بَيْنَ أُسْطُوَانَتَيْنِ فَأَخَذَ بِقَفَائِي فَأَدْنَانِي إِلَى سُتْرَةٍ، فَقَالَ: «صَلِّ إِلَيْهَا»
“Dari Qurrah bin Iyas berkata, ‘Umar bin Al-Khattab melihat aku yang sedang shalat diantara dua tiang masjid (tidak menhadap ke sutrah), maka ‘Umar memegang pundakku dan mendekatkanku (menggeserkan aku) kepada sutrah” (HR Ibnu Abi Syaibah : 7502)
Sutrah yang dimaksud didalam riwayat diatas adalah tiang masjid, sebagaimana Imam Bukhari membawakan riwayat dari perkataan ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu :
المُصَلُّونَ أَحَقُّ بِالسَّوَارِي مِنَ المُتَحَدِّثِينَ إِلَيْهَا» وَرَأَى عُمَرُ: " رَجُلًا يُصَلِّي بَيْنَ أُسْطُوَانَتَيْنِ، فَأَدْنَاهُ إِلَى سَارِيَةٍ، فَقَالَ: صَلِّ إِلَيْهَا رواه البخاري تعليقًا : بَابُ الصَّلاَةِ إِلَى الأُسْطُوَانَةِ (1/577)
“Orang-orang yang shalat lebih berhak kepada tiang masjid (untuk memanfaatkan tiang masjid) dari pada orang-orang yang ngobrol”. Dan ‘umar melihat seseorang yang shalat diantara dua tiang (tidak menghadap ke sutrah), lalu ‘Umar pun mendekatkan orang tersebut ke arah tiang masjid, seraya berkata, Shalatlah menghadap kepadanya” (HR Bukhari secara mu’alaq Bab Shalat menghadap tiang masjid 1/577, Hadits ini diriwayatkan secara bersambung didalam riwayat Ibnu Abi Syaibah 3/37 no. 7502 )
[2] Diperinci jikalau sutrah dekat maka disyari’atkan untuk mencari sutrah walaupun harus bergeser kekanan atau kekiri kedepan bahkan ke belakang apabila geraknya ini sedikit. Akan tetapi kalau sutrahnya jauh, maka tidak boleh memaksakan mencari sutrah karena gerak yang banyak didalam shalat merusak shalat, padahal menghadap sutrah dalam shalat hukumnya masih di perselisihkan oleh para ulama antara wajib dan sunnah. Diantara Ulama yang berpendapat ini adalah syaikh Al-Albani rahimahullah, dan syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abad Al-Badr hafidzahullah.
[3] Bagi orang yang shalat sebagai makmum yang masbuq, ketika imam tersebut salam ia harus menyempurnakan shalatnya. Lalu Apakah ia harus mencari sutrah atau tidak ? ada beberapa pendapat dikalangan para ulama :
Pendapat pertama :
Tidak perlu mencari sutrah, karena sutrahnya Imam adalah sutrahnya makmum, walaupun makmum masbuq sekalipun.
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang Orang yang masbuq ketika menyempurnakan shalatnya apakah perlu melangkah satu atau dua langkah untuk mendekat ke sutrah ? Maka beliau menjawab :
الذي يظهر لي من صنيع الصحابة رضي الله عنهم ، أن المسبوق لا يتخذ سترة ، وأنه يقضي بلا سترة
Yang nampak pada pandanganku dari perbuatan para sahabat bahwa makmum yang masbuq tidak dianjurkan untuk mencari sutrah, akan tetapi selesaikan shalatnya tanpa sutrah” (Liqaa Al-bab Al-Maftuh 30/232).
Syaikh Al-‘Utsaimin menganggap orang yang masbuq, ketika menyelesaikan shalatnya dianggap shalat sendirian.
Beliau berkata :
إذا سلم الإمام وقام المسبوق لقضاء ما فاته فإنه يكون في هذا القضاء منفرداً حقيقة، وعليه أن يمنع من يمر بين يديه لأمر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بذلك، وترك بعض الناس منع المار قد يكون عن جهل منهم بهذا، أو قد يكون عن تأويل حيث إنهم ظنوا أنهم لما أدركوا الجماعة صاروا بعد انفرادهم عن الإمام بحكم الذين خلف الإمام، لكن لابد أن يمنع المسبوق من يمر بين يديه إذا قام لقضاء ما فاته.
“Apabila Imam salam lalu makmum Masbuq berdiri untuk menyempurnakan sisa shalatnya, maka keadaan dia sekarang adalah shalat munfarid (tidak lagi kondisi berjamaah), maka baginya untuk mencegah orang yang berusaha melintasinya didhadapannya berdasarkan perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam akan hal itu. Sebagian orang (dalam kondisi ini) membiarkan orang lewat dihadapannya, bisa jadi karena kejahilan atau karena anggapan bahwa orang yang mendapatkan shalat berjam’ah bersama imam , ketika masbuk shalat sendiriannya pun dianggap shalat berjam’ah bersama imam. Maka hendaklah ia mencegah orang yang melintas dihadapannya ketika ia menyempurnakan kekurangan raka’at shalatnya” (Majmu’ Fatawa wa rosaail, Ibnu Al-‘Utsaimin 13/331 no. 626)
Pendapat kedua :
Disyari’atkan untuk mencari sutrah karena posisi dia sekarang tdak lagi berjamaah, maka keberadaan sutrah imam pun selesai dengan salamnya imam. Dalil mereka adalah sebagaimana dalil pada poin satu yaitu riwayat :
عَنْ قُرَّةَ بن إياس قَالَ : رَآنِي عُمَرُ وَأَنَا أُصَلِّي بَيْنَ أُسْطُوَانَتَيْنِ فَأَخَذَ بِقَفَائِي فَأَدْنَانِي إِلَى سُتْرَةٍ، فَقَالَ: «صَلِّ إِلَيْهَا
“Dari Qurrah bin Iyas berkata, ‘Umar bin Al-Khattab melihat aku yang sedang shalat diantara dua tiang masjid (tidak menhadap ke sutrah), maka ‘Umar memegang pundakku dan mendekatkanku (menggeserkan aku) kepada sutrah” (HR Ibnu Abi Syaibah : 7502).
Pendapat ketiga : Diperinci, yaitu kalau sutrah dekat maka bergeser ke kanan ke kiri , atau depan bahkan mundur ke belakang. Tapi kalau sutrah jaraknya jauh maka shalatlah di tempat nya tanpa bergeser memaksakan mencari sutrah.
KESIMPULAN :
Dari pendapat-pendapat diatas yang lebih menentrankan hati insya Allah adalah mengambil jalan yang merinci yaitu bagi makmum masbuq atau bagi yang shalat menghadap sutrah lalu sutrahnya hilang, maka baginya untuk mencari atau membuat sutrah baru dengan cara bergerak atau bergeser kekiri atau kanan atau depan serta belakang untuk menghadap ke sutrah selama gerakan tersebut ringan tidak banyak karena sutrahnya dekat. Akan tetapi apabila mengharuskan gerak yang banyak karena sutrahnya jauh maka tidak disyari’atkan untuk memaksakan gerak menghadap sutrah, karena gerakan yang banyak bisa membatalkan shalat, sementara hukum sutrah sendiri perkara yang di perselisihkan oleh para Ulama.
Wallahu a’lam.
Abu Ghozie As-Sundawie