Ustadz Unknown |

TAHDZIR MENTAHDZIR



Bismillah.

Afwan ustadz, ana mau tanya ttg tahzir mentahzir. Ana juga tidak paham bagaimana sikap kita sbg thalabul'ilmu ttg itu. Karena ada teman yg mengatakan bhw kita mesti melihat dr siapa kita mengambil ilmu. Lantas dia menyebut bbrp nama ustadz yg sdh di tahzir oleh syaikh fulan. Bahkan syaikh fulan telah ditahzir oleh syaikh fulan. Mohon penjelasannya ustadz Jazakallahu khairon,

dari Abbas di Biak.

Jawaban :

Akhuna Abbas di Biak.....barokallahu fik !, semoga antum senantiasa dijaga dari berbagai macam fitnah baik yg nampak atau yang tersembunyi, demikian juga kita dan kaum muslimin sekalian.
Diantara fitnah yg menimpa yg telah diwanti-wanti oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam adalah fitnah perpecahan, sehingga saling mencela, mentahdzir, menghajer, yang bukan pada tempatnya, bukan terhadap yang berhak untuk itu.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, " sesungguhnya syaithon telah putus asa untuk disembah orang yg sholat di jazirah arab, akan tetapi (ia tdak putus asa untuk) memecah belah (pertikaian) diantara sesama mereka" (HR Bukhari, Muslim).

Imam Nawawi Rahimahullah berkata, " Syathon berusaha memecah belah dengan pertentangan (perdebatan), saling benci, peperangan, huruhara dan berbagai macam fitnah lainnya...(syarah Muslim, An-Nawawi).

Apa itu Tahdzir ?
Tahdzir ada kaitannya dengan Hajer. Dimana ada tahdzir pasti ada hajer, tidak terjadi hajer kecuali akibat dari tahdzir.

Tahdzir, artinya memperingatkan orang untuk berhati2 terhadap penyimpangan seseorang.
Hajer, artinya menjauh (mengisolir, boikot), berpaling secara total dari ahlul bid'ah, berlepas diri dari orang yg menyimpang. (Hajrul Mubtadi'syaikh bakar abu zaid, hal. 15, lihat juga : al hajru, syaikh Masyhur Alu Salaman, Mauqifu ahlis sunnah wal jama'ah min ahlil hawa wal bida', syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili).

Tahdzir & Hajer disyari'atkan, berdasarkan dalil-dalil :
QS Al-An'am : 68, ayat ini menunjukan haramnya bermajlis dengan ahlul bid'ah, pelaku dosa & maksiat.

QS Ali Imran : 7, ayat ini menunjukan adanya orang sesat (az-zaigh) yg mengikuti ayat-ayat mutasyabih (samar, rancu) tujuannya membuat fitnah (menyesatkan) .

Lalu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memperingatkan kalau ada orang sesat sepert ini hati2lah (ihdzaru=tahdzir) terhadap mereka. (HR Bukhari :4547, Muslim : 2665).

Akan tetapi didalam mempraktekkannya wajib memperhatikan qawã'id & dhawãbith (kaedah2 & patokan2) didalm mentahdzir dan menghajer.

Qawaa'id & Dhawaabith tersebut adalah :

(1). Niat dan tujuan "hajer" adalah ikhlsah karena Allah.
Artinya ketika menghajer, tujuan kita bukan untuk menang2an, atau membela ustadz kita, fanatik kpada syaikh, atau guru, karena orang dekat kita menghajer si fulan, maka kitapun ikut2an menghajer, bukan itu. Akan tetapi menghajer karena Allah. Ikhlas mengharap wajah Allah, ingin kebaikan tersampaikan kpada saudara kita.

Ingat bahwa menghajer itu IBADAH kalau ia itu ibadah, maka ya syaratnya adalah ikhlash mengharapkan wajah Allah sebagaimana ibadah2 yg lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, "Tidak halal (haram) bagi seseorang berbicara tentang masalah ini (hajer meng-hajer), kecuali tujuannya adalah mengharap wajah Allah, dan untuk meninggikan kalimat Allah, tegaknya agama Allah. Maka barang siapa yg berbicara tentangnya tanpa ilmu, atau ternyata ucapannya menyelisihi hakekatnaya, ia telah berdosa. Seandainya bicaranya benar akan tetapi tujuanannya untuk kerusakan,maka ia seperti yg berjuang karena fanatik golongan dan riya, tapi kalau ia berbicara ikhlas karena Allah, maka ia termasuk orang berjihad dijalan Allah, sebagai pewarits para Nabi dan Rasul". (Al-Majmu'ul Fatawaa 28/234).

(2). Yang di hajer adalah ahlul bid'ah yg terang2an dan menyeru kepada bid'ahnya.
Adapun orang awamnya, orang yg jahilnya dari kalangan ahlul bid'ah, atau pelaku bid'ah yg ia tdak menyeru kpada kebid'ahannya, maka ia ini justru bukan dihajar, tapi dinasehati dengan hikmah, lemah lembut, berbagai macam cara.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, "Kaum muslimin (ulama islam) telah sepakat, bahwa yg dihajer (tidak dipergauli) itu adalah orang yg telah nampak tanda2 kebid'ahannya,serta menyeru dan mendakwahkan bid'ahnya, menampakkan dosa besar. Adapun orang yg menyembunyikan kebid'ahannya, dan bukan bid'ah yg menyebabkan ia kafir, maka ia tdaklah di hajer.....(Majmu'fatwaa 24/174).

(3). Memperhatikan kekuatan & kelemahan, serta mayoritas & minoritas nya kondisi yg di hajer dan yg menghajer.

Yakni : ketika kondisi mayoritas atau kuat, misalnya orang yg punya kedudukan, pengaruh yg kuat maka gunakan metode hajer, tetapi ketika lemah dan minoritas maka gunakan metode at-Ta'lif (lemah lembut).

Tidak setiap orang menghajer, tapi yg punya kedudukan, pengaruh, seperti Rasulullah, yg kapasitasnya punya pengaruh menghajer ka'ab bin Malik yg tdak ikut perang tabuk.
Contoh metode ta-lif yg dilakukan Rasulullah : Sikap Beliau terhadap Abdullah bin ubay, Uyainah bin Hisyam, al-Aqra bin Habis, Abdullah bin Dzul Huwaishirah, dll.

Contoh metode Hajer yg dilakukan Rasulullah : Sikap Beliau kepada Ka'ab bin Malaik dan 2 orang temanya yg tdak ikut perang Tabuk, di hajer selama 50 hari, dicuekin sama Nabi dan para sahabat yg lain.

Jadi tidak setiap orang yg berbuat salah dan menyimpang itu langsung maen dihajer saja, atau maen di ta-lif saja, tapi disesuaikan kondisi, baik yg menghajer atau yg dihajer.

Contoh :
Antum mau menghajer kebid'ahan tahlilan atau mauludan dikampung antum, sedangkan yg tahlilan dikampung itu dari mulai lurahnya sampai hampir semua masyarakat pada tahlilan semua, yg tdak tahlilan hanya antum dan anak isteri antum saja misalnya, maka kalau antum mau menghajer mereka niscaya akan sia2 karena sebelum antum menghajer mereka, merekapun sudah kucilkan antum dan keluarga terlebih dahulu, kenapa ? karena antum tdak mau ikut tahlilan, mauludan, antum dituduh wahabi, ISIS, dll. Antum yang minoritas, bahkan sendirian mau menghajer orang sekampung ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Menghajer ini juga berbeda2 tergantung kondisinya, dari kuat lemahnya, banyak atau sedikitnya, karena sesungguhnya tujuan hajer itu adalah memperingatkan dan memberikan pelajaran (kpada yg bersalah), supaya kembali kpada kebenaran. Maka disyari'atkan hajer itu apabila dengan hajer itu maslahatnya dominan dari madhorotnya misalnya menjadi berkurang keburukan. Akan tetapi sebaliknya, apabila yg dihajer itu tidak takut, bahkan semakin menjadi2 keburukannya, apalgi yg menghajer lemah (kedudukannya) sehingga madhorot yg timbul lbih besar daripada maslahat, maka dalam kondisi ini, tidak disyari'atkan hajer, bahkan terkadang metode ta'lif (merangkul, lemah lembut) kepada sebagian orang lebih bermanfaat dari metode hajer, tapi bisa jadi juga metode hajer lebih bermanfaat bagi sebagian yg lain dari metode ta'lif (tergantung kondisi yg di hajer/tidak disama ratakan). (Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyyah 28/206).

(4). Mengetahui jenis bid'ah yg dilakukan manusia, apakah bid'ah kekeufuran atau bid'ah kefasikan saja.

Tidak setiap dosa yg dilakukan manusia dihajer pelakunya. Tapi yg diterapkan hajer apabila dosa tersebut berbahaya, bid'ahnya yg menyebabkan pelakuknya kufur, bid'ah dalam keyakinan, para ulama memberi contoh seperti Bid'ah Syi'ah Rofidhoh, Qadiriyyah, dll.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Dan bid'ah yg dianggap sebagai ahlul ahwa adalah bid'ah yang penyelisihannya terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah itu telah masyhur (sepakat) dikalangan ahlul ilmi, seperti bid'ah Khowarij, Syi'ah Rofidhah, Qodariyah dan Murji-ah". (Al-Majmu'ul Fatawa 35/414).

Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah mengatakan, "Kesesatan itu terbagi kepada Bid'ah yg Mukaffirah (dikafirkan ), dan bid'ah Mufasiqah (difasiqkan), dan bid'ah yg pelakunya itu diberi udzur, akan tetapi yg diberi udzur ini tidak sampai derajat bid'ah dhalalah, yg bid'ah itu muncul darinya karena takwil, dan niat baik..."(Syarah Arba'in, syaikh al-'Utsaimin, 292).

Kesalahan kita para penuntut ilmu, mereka menghajer kpada seseorang yg kesalahannya masih diperselisihkan oleh para ulama, atau kesalahan itu perkara ijtihadiyyah. Bukan kesalahan pada perkara ushul aqidah, pokok-pokok manhaj, atau pada prinsip agama.

Padahal menurut syaikhul Islam diatas, yang di maksud Ahlul Bid'ah adalah yg penyelisihannya kpada Al-quran dan as -sunnah itu telah masyhur dikalangan ahlul ilmi, disepakati kesesatannya tdak tersamarkan, bukan yg masih diperselisihkan.

(5). Menghajer dengan ilmu, keadilan dan rahmat (kasih sayang).
Yakni ingat ketika menghajer, bukan semata2 menghajer, tapi karena dilandasi cinta dan kasih, agar ia sadar, bukan dilandasi benci, cari kepuasan. Juga kapasitas ilmu kita sdah layak atau belum untuk menghajer ? Atau ikut2an saja? Padahal kita tdak tahu, permasalahan yg sesungguhnya ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Menjaga (membela) Sunnah itu haruslah dengan kebenaran, kejujuran, dan keadilan, bukan dengan dusta, kedazaliman, maka kalau membantah kebatilan manusia dengan kebatilan yg sama, atau melawan bid'ah dengan kebid'ahan yg sama, ini adalah perkara yg sangat dicela oleh kaum salaf dan para aimmah (ulama)". (Dar-ut Ta'arud 7/182).

(6). Bedakan ketika membantah kpada ahlus sunah dengan membantah kepada ahlul bid'ah.
Kesalahan kita, menhajer itu kpada sesama ahlu sunnah, bukan ahlul bid'ah, yg ahlu sunnah di cap Mubtadi', ikhwani, sururi dan lebel2 lainnya hanya karena masalah ijtihadiyyah.

(7). Memperhatikan mashlahat dan Mudharat.
Artinya kalau dengan menghajer bukan menyadarkan orang, tapi malah menjadi2 kesesatannya. Maka hentikan metode hajer dan rubahlah dengan metode Ta-lif (lemah lembut, merangkul).
Kesalahan kita , menghajer orang yg salah itu seumur hidup tdak memperhatikan maslahat dan madorotnya, pokoknya di hajer sampai mati, pokoknya dia musuh sampai mati, pkoknya Tdak salam sampai mati. (Lihatlah perkataan syaikhul Islam yg indah tentang masalah ini di Majmu'Fatawa 28/206).

Bagaimana sikap kita sebagai penuntut ilmu terhadap masalah tahdzir dan hajer? Yang mana tahdzir dan hajer ini terjadi sesama ahlu sunah? Bukan tahdzir dan hajer dari ulama ahlus sunnah kepada ahlul bid'ah. Bukan ! Tetapi kita batasi Tahdzir dan Hajer sesama Ahlul bid'ah.

Diantara poin2 penting itu diantaranya adalah :

(1). Ketahuilah bahwa masalah tahdzir & hajer ini khususnya yg terjadi dikalangan para Thullabul 'Ilmi, bahkan para Masyaikh adalah maslah fitnah, ujian yg dengannya sesorang diuji keteguhan imannya dan kekokohan ilmunya, kemantapan pemahamannya. Ia perkara yg banyak menjerumuskan para penuntut ilmu kedalam fitnah khususnya para pemula yg memang masa2 penuh semangat. Maka perlu berhati2 dan waspada.

(2). Tidak mudah ikut2an dalam masalah tahdzir menahdzir, baik antara satu masyaikh dengan masyaikh yang lain, satu ustadz dengan ustadz yg lain, khusunya dalam perkara yg kita tdak faham masalah yg sesungguhnya. Karena ketika kita ikut2an bicara sedangkan kita tdak ada ilmunya maka terkena ancaman Allah.

Allah Ta'ala berfirman : "Janganlah kamu mengikuti sesuatu yg tdak ada ilmu tentangnya karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya disisi Allah". (QS Al-Isra : 36).

(3). Ketika datang tahdzir dari seorang ulama kepada ulama yg lainnya, atau seorang Syaikh mentahdzir kepada syaikh yg lainnya, atau seorang ustadz kepada ustadz yg lainnya, maka ketahuilah bahwa masalah Tahdzir ini adalah merupakan bagian dari ilmu jarh wa ta'dil (kritikan & pujian ) dalam ilmu Hadits , yg mana ia merupakan medan ijtihadiyyah, yg bisa benar bisa salah, bisa diterima, dan bisa ditolak. Dan hanya dilakukan oleh orang khusus, ahli dalam ilmu dan bidang ini.
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan, " Seorang ulama mujtahid meyakini lemahnya (tercelanya) seorang rawie, sedangkan yg lain meyakini justru menguatkannya dan mensahihkannya, maka terkadang kebenaran ada pada pihak yg melemahkan karena ia tahu rahasia cacatnya rowie ini dibandingkan yg memujinya. Tapi terkadang justru kebenaran ada pada yg memuji, karena kelemahan itu tdaklah tercela dalam periwayatan, dan kejujuran rowi, bisa jadi karena dia sendiri tdak tercela, atau mungkin adanya udzur,atau adanya takwil, yg membuat ia tdak layak di kritik (dijarah)". (As-Shawaa'iqul Mursalah, Ibnul Qayyim 2/556)

Maka keliru kalau seseorang saling musuhan gara2 kesalahan seseorang, kesalahan ulama, ketergelinciran seorang syaikh, dalam masalah yg sifatnya ijtihadiyyah. Yakni berprinsip bahwa yg ikut pendapat syaikh fulan, maka ia adalah teman kita, ia saudara kita dan yg tidak ikut syaikh fulan maka ia musuh kita, dia sesat yg harus di hajer, tdak boleh ikut pengajiannya karena dia pro kapada fatwa syaikh tersebut.

(4). Bersikaplah inshaf (berlaku adil-lah) dalam menilai ketergelinciran atau kesalahan ulama. Jangan mudah memvonis para ulama atau para masyaikh sesat, ahlul bid'ah atau dengan vonis2 lainnya karena kesalahan atau ketergelinciran dalam satu permasalahan, sementara kebaikan2nya demikian banyaknya. Melupakan kebaikan yg banyak hanya dengan satu kesalahan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Apabila terkumpul pada diri seseorang, kebaikan dan keburukan, dosa dan keta'atan, sunnah dan bid'ah, maka ia berhak medapatkan loyalitas dan pahala sesuai kebaikannya dan mendapatkan kebencian dan siksa sesuai dengan keburukannya....inilah hukum asalnya yg telah disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah". (Majmu'ul Fatawa 28/209).

As-Syathibi Rahimahullah berkata, "Apabila seorang alim tergelincir maka tidak boleh berpegang kpadanya dari satu sisi secara mutlak, dan tidak boleh pula ia mengambil dari nya secara total dengan cara Taqlid (ikut2an)". (Al-Muwafaqaat 4/170-171).

Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah berkata ketika menyebutkan biografi Qatadah, " Kemudian sesungguhnya para ulama yg senior apabila banyak kebaikannya, dikenal gigih mencapai kebenaran, luas ilmunya, nampak kecerdasannya, wara' nya, dan berittibanya kpada sunnah, maka ia akan diampuni ketergelincirannya, kita tidak menyesatkannya, dan melupakan kebaikannya, memang kita tdak mengikuti kesalahannya, kita berharap ia bertobat darinya..."(Siyar A'lam An-Nubalaa 5/271).

(5). Sibukan dengan ilmu dan ibadah.
Dalam mensikapi fitnah tahdzir mentahdzir dan hajer menghajer, sebagai penuntut ilmu maka sibukan dengan ilmu dan ibadah, masih banyak ilmu yang belum kita pelajari, masih banyak kitab para ulama yg belum kita baca, kaji ilmu secara terperinci, jangan hanya belajar ilmu bagian yg global2nya saja, karena yg demikian akan membuat rapuh, tidak kokoh, sehingga gampang terkena syubhat (kerancuan), mudah terombang ambing derasnya gelombang fitnah.

Perbanyak juga ibadah2 yg disyari'atkan, biasanya tukang tahdzir sana tahdzir sini, yg sibuk cari2 kesalahan syaikh fulan, atau ustadz fulan, mereka malas dalam ibadah, hati menjadi keras, bagaimna tidak keras, terkadang lisan yg terucap adalah kata2 yg tidak layak diucapkan terhadap saudaranya. Apalagi ditujukan kpada para ulama, yang kata Imam Ibnu Asakir bahwa daging mereka itu beracun, wal'iyadzu billah.

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, " Bersegeralah kalian beramal, sebelum datangnya fitnah, laksana gelapnya malam gulita, seseorang paginya beriman, sorenya sudah kafir, atau sorenya beriman, tetapi paginya sudah kafir, menjual agamanya dengan harta duniawi (yg hina)" (HR Muslim ).

(6). Nasehat-nasehat para ulama kepada penuntut ilmu didalam mensikapi masalah tahdzir dan hajer :
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah berkata, "...kita telah sepakat tentang jarh (kritikan/tahdzir) terhadap ahlul bid'ah dan terhadap hizbiyun, tinggalalah orang2 (ahlu sunnah) yg dikritik oleh sebagian dan tidak dikritik oleh sebagian yg lain. Dan ini terjadi pula pada zaman salaf dahulu, terkadang ada Rowi (periwayat hadits) yg dikatakan tsiqah (terpercaya) oleh Imam Ahmad, akan tetapi dikritik sebagai pendusta oleh Imam Ibnu Ma'in, demikian juga yg dialami oleh Bukhari, Abu Zur'ah, Abu Hatim(mereka berbeda pandangan dalam menilai kritikan atau tahdzir kpada ulama ahlus sunnah), Yang penting tidak bertaqlid buta sebagian mereka terhadap sebagian yg lain, kalaupun kita berbeda dalam menilai baik atau mengkritik seseorang, maka ini bukanlah perbedaan dalam aqidah, bukan dalam tujuan dakwah..."( Kaset ad-Dharar fil Ajwibah, syaikh Muqbil).
Dalam kesempatan lain Beliau Rahimahullah menambahkan : "Yang ku nasihatkan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh nasihat, dalam mencapai ilmu yg bermanfaat agar jangan menyibukan diri mereka dari hal-hal yg tdak bermanfaat, maka yg ini berselisih (berbeda pendapat) , yg itu berpecah belah, itu semua muncul dari kekosongan waktu, syaikh fulan salah, syaikh fulan keliru, syaikh fulan tidak diambil ilmunya, syaikh fulan begini dan begitu, maka aku katakan, yg wajib bagi dia untuk mengatakan kepaa dirinya adalah bagaimanaa agar aku seperti syaikh fulan atau bahkan lebih baik darinya..."

Dalam kesempatan lain Beliau Rahimahullah mengatakan, "Yang aku nasihatkan bagi penuntut ilmu agar menghadapkan secara total terhadap ilmu, tanpa menoleh kepada perkara2 itu (tahdzir mentahdzir), jangan disibukan dirimu dengan ta'ashub (fanatik) kepada seseorang, bahkan menuntut ilmulah serius, Suatu kali seseorang dari Makkah menulis surat untuku, dia mengatakan kpada ku bahwa dakwah Hizbiyah telah merajalela menyebar pada kami, apa yg harus aku lakukan ? Maka aku nasihatkan agar segera menghadap kpada Ilmu dan jangan perdulikan kpada perkara itu, Rupanya Dia merasa terganggu dengan dakwah hizbiyyah ini, dan ingin berusaha untuk membantah mereka, lalu Aku katakan kepadanya, "jangan engkau sibukkan dirimu untuk membantah mereka (hizbiyyun), karena engkau penuntut ilmu, yg masih butuh banyak ilmu untuk itu, karena kalau engkau sibukkan dengan urusan itu, engkau akan tersibukan dari menghafal al-Qur'an, tersibukan dari mendapatkan ilmu, maka jangan disibukan dengan urusan ini..."

Syaikh Shaleh As-Suhaimi hafidzahullah berkata, "Nasihatku agar kalian sibukan menuntut ilmu, dan tinggalkanlah jalan apapun yg para masyaikh itu memperbincangkannya (tahdzir mentahdzir), maka tetaplah pada jalan menuntut ilmu, sibukan dengannya, sibukan dengan ibadah, dan ingtlah wahai kalaian semuanya para Hamba Allah, saling ingatkanlah tentang surga, neraka, balasan amalan, dan ingatlah firman Allah, "Dan tidaklah ada lafadz yg diucapkan melainkan ada padanaya malaikat yg mengawasi (raqib) yg selalu ada (atid)"

Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzhullah berkata, "Demikian juga, apabila dalam masalah aqidah, atau masalah seorang ulama ada sesuatu (kesalahan) didalam fatwanya, maka disini wajib untuk meneliti kenapa ia melakukan ini, agar mendapatkan maslahat dan mencegah kemudharatan, .." (kaset Al-Fatwa baina Muthobiqaatis-Syar'i wamusayarotil ahwa, side B)
(Disarikan dari kitab Riyadhul Jannah fi syarhi ushul as-sunnah, Abul Asybal Ahmad Salim Al-Mashri. Wallahu a'lam.
Abu Ghozie As-Sundawie