WANITA YANG SEDANG HAIDH MASUK MASJID
SOAL :
Ustadz mohon
dijelaskan hukum wanita haidh masuk masjid. Dari Hari di Cimahi, Bandung Barat.
JAWAB :
Barokallahu fikum Akhuna Hari di Cimahi
semoga istiqamah. Masalah yang ditanyakan yaitu hukum wanita haidh masuk masjid
termasuk didalamnya hukum wanita nifas atau orang yang junub secara umum,
adalah masalah yang diperselisihkan oleh para Ulama dan termasuk masalah
ijtihadiyah khilafiyah yang setiap kita wajib berlapang dada didalam
mensikapinya.
Ibnu Rusyd rahimahullah berkata :
اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي دُخُولِ الْمَسْجِدِ لِلْجُنُبِ
عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ : فَقَوْمٌ مَنَعُوا ذَلِكَ بِإِطْلَاقٍ ، وَهُوَ
مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَصْحَابِهِ ، وَقَوْمٌ مَنَعُوا ذَلِكَ إِلَّا لِعَابِرٍ
فِيهِ لَا مُقِيمٍ ، وَمِنْهُمُ الشَّافِعِيُّ ، وَقَوْمٌ أَبَاحُوا ذَلِكَ
لِلْجَمِيعِ ، وَمِنْهُمْ دَاوُدُ وَأَصْحَابُهُ
“ Para Ulama telah berbeda pendapat
tentang orang junub (termasuk didalamnya wanita haidh) masuk masjid kepada 3
pendapat : Maka segolongan ada yang melarang secara mutlak ia adalah madzhab
malik para pengikutnya, segolongan melarang yang demikian (masuk masjid)
kecuali yang melintas saja bukan yang berdiam (tinggal) diantara mereka yang
berpendapat ini adalah As-Syafi’i, dan segolongan membolehkan untuk semuanya
dan mereka adalah madzhabnya Dawud Ad-Dzahiri dan para pengikutnya” (Bidayatul
Mujtahid : 1/46)
Imam Ibnu Katsir demikian juga
As-Syaukani rahimahullah membawakan pendapat yang keempat yaitu :
وَذَهَبَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ إِلَى
أَنَّهُ مَتَى تَوَضَّأَ الْجُنُبُ جَازَ لَهُ الْمُكْثُ فِي المسجدِ
“Imam Ahmad rahimahullah telah
berpendapat bahwasanya kapan seseorang itu berwudlu saat junub maka boleh
baginya untuk tinggal di Masjid” (Tafsir Ibnu Katsir 1/502, Nailul Authar
1/251)
Perincian khilafiyah (perbedaan
pendapat) tentang orang junub atau wanita haidh dan Nifas masuk masjid terbagi
kepada empat pendapat :
[1] Haram wanita haidh atau orang junub
tinggal (berdiam) di Masjid baik dengan cara duduk, atau berdiri, atau mondar
mandir baik dalam keadaan punya wudlu ataupun tidak, dan hanya dibolehkan lewat
saja secara mutlak baik lewat karena ada keperluan ataupun tidak ada keperluan.
(Haram tinggal secara mutlak akan tetapi boleh sekedar lewat secara mutlak)
Inilah madzhabnya Imam Syafi’i sebagaimana yang telah dinukil oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ia berkata :
Inilah madzhabnya Imam Syafi’i sebagaimana yang telah dinukil oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ia berkata :
مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يَحْرُمُ
عَلَيْهِ الْمُكْثُ فِي الْمَسْجِدِ جَالِسًا أَوْ قَائِمًا أَوْ مُتَرَدِّدًا
أَوْ عَلَى أَيِّ حال كان متوضأ كَانَ أَوْ غَيْرَهُ وَيَجُوزُ لَهُ الْعُبُورُ
مِنْ غَيْرِ لُبْثٍ سَوَاءٌ كَانَ لَهُ حَاجَةٌ أَمْ لَا
“Madzhab kami (syafi’iyyah) bahwasanya
haram bagi orang junub atau wanita haidh dan nifas berdiam di masjid baik
duduk, berdiri atau mondar mandir atau apapun keadaannya, baik berwudlu ataupun
tidak berwudlu, hanya saja boleh ia melintas baik karena ada keperluan ataupun
tidak” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab 2/173).
Mereka berdalil dengan firman Allah
Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ
وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ
عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub ,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. (QS An-Nissa : 43)
Juga Hadits Jasrah binti Dajajah dari
Aisyah radliyallahu anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وَجِّهُوا هَذِهِ الْبُيُوتَ عَنِ
الْمَسْجِدِ، فَإِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ
“Jauhkanlah rumah-rumah ini dari masjid karena
aku tidak halalkan masjid bagi wanita yang sedang haid juga bagi oarang yang
junub” (HR Abu Dawud : 232, Ibnu Majah : 645, Hadits ini di dha’ifkan oleh
syaikh Al-Albani rahimahullah didalam kitab Dha’if Al-Jaami’us Shaghir : 6117,
Irwaul Ghalil : 193).
[2] Seperti pendapat pertama hanya saja
mereka membolehkan lewat atau melintasi masjid bagi yang ada hajat (keperluan)
misalnya karena mengambil sesuatu atau memang jalan harus melintasi masjid
tersebut. Inilah madzhab Hanbali, sebagaimana dinukil Imam Ibnu Qudamah
rahimahullah (Al-Mughni 1/200)
demikian juga perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Dan boleh tinggal apabila berwudlu (Haram tinggal secara mutlak kecuali berwudlu, dan boleh lewat kalau ada hajat saja, berarti kalau tidak ada hajat maka lewat pun tidak boleh)
demikian juga perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Dan boleh tinggal apabila berwudlu (Haram tinggal secara mutlak kecuali berwudlu, dan boleh lewat kalau ada hajat saja, berarti kalau tidak ada hajat maka lewat pun tidak boleh)
Mereka berdalil dengan pendalilan
seperti pendapat pertama yaitu ayat Al-Qur’an, hadits Jasrah Bintu Dajajh, dan
hadits Aisyah radliyallahu anha berkata :
قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ»، قَالَتْ
فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضٌ، فَقَالَ: «إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
berkata kepadaku, “ambilkanlah sajadah di masjid, Aisyah berkata, “aku katakan
sesungguhnya aku sedang haidh, lalu beliau bersabda “ Haidhmu kan tidak
ditanganmu” (HR Muslim : 298)
وَلَيْسَ لَهُمْ اللُّبْثُ فِي
الْمَسْجِدِ، لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى
تَغْتَسِلُوا} [النساء: 43] وَرَوَتْ عَائِشَةُ، قَالَتْ: «جَاءَ النَّبِيُّ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَبُيُوتُ أَصْحَابِهِ شَارِعَةٌ فِي
الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: وَجِّهُوا هَذِهِ الْبُيُوتَ عَنْ الْمَسْجِدِ؛ فَإِنِّي
لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد. وَيُبَاحُ
الْعُبُورُ لِلْحَاجَةِ، مِنْ أَخْذِ شَيْءٍ، أَوْ تَرْكِهِ، أَوْ كَوْنِ
الطَّرِيقِ فِيهِ، فَأَمَّا لِغَيْرِ ذَلِكَ فَلَا يَجُوزُ بِحَالٍ
Dan mereka (Orang junub atau wanita yang
sedang haidh atau Nifas) tidak boleh berdiam di Masjid berdasarkan Firman Allah
Ta’ala, “...Dan tidak boleh bagi yang Junub atau yang melewati jalan kecuali
kalau sudah mandi” (QS An-Nisa : 43) dan telah di Riwayatkan dari Aisyah
radliyallahu anha ia berkata, “Datang Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
sementara Rumah-rumah para sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
(pintunya terbuka masuk ) ke masjid, maka Beliaupun bersabda, Palingkan
(pintu-pintu) rumah ini dari masjid (maksudnya supaya orang tidak sembarangan
keluar masuk masjid melalui pintu-pintu ini) karena sesungguhnya aku tidak
menghalalkan tinggal di masji orang junub dan wanita haidh” (HR Abu Dawud) dan
dibolehkan melintas karena adanya keperluan mengambil sesuatu atau meninggalkan
sesuatu atau memang jalannya melintas ke dalam masjid, adapun kalau tanpa ada
keperluan maka (melintaspun) tidak boleh” (Al-Mughni : 200)
Adapun tentang wudlu yang junub boleh
tinggal di masjid adalah berdasarkan riwayat dari ‘Atha’ Bin Yasar ia berkata :
رَأَيْت رِجَالًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْلِسُونَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمْ مُجْنِبُونَ إذَا
تَوَضَّئُوا وُضُوءَ الصَّلَاةِ
Aku melihat para sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pada duduk duduk dimasjid sementara mereka berjunub apabila telah berwudlu seperti wudlunya mau shalat” (HR Sa’id bin Manshur : 615, Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di Tsamar Al-Mustathab 1/754)
Aku melihat para sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pada duduk duduk dimasjid sementara mereka berjunub apabila telah berwudlu seperti wudlunya mau shalat” (HR Sa’id bin Manshur : 615, Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di Tsamar Al-Mustathab 1/754)
[3] Haram wanita Haidh berdiam atau
sebatas melintas di Masjid dalam kondisi apapun dan dalam bentuk apapun tanpa adanya
pengecualian. (Haram tinggal dan lewat secara mutlak) Ini madzhabnya Hanafiyyah
(Fathul qadir 1/114) demikian juga madzhab Malikiyah sebagaimana disebutkan
Ibnu Hazam (Al-Muhalla 2/185). Mereka berdalil dengan hadits Jasrah Binti
Dajajah diatas, demikian juga ayat Al-Qur’an serta Hadits dari Abu Sa’id
Al-Khudriy ia berkata :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ: «يَا عَلِيُّ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ
يُجْنِبُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ غَيْرِي وَغَيْرِكَ
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
bersabda kepada Ali bin Abi Thalib , wahai Ali Masjid ini tidak halal bagi
siapappun yang junub selain aku dan kamu” (HR Tirmidzi : 3727, Di Dha’ifkan
oleh Al-Albani rahimahullah, Silsilah Ad-dha’ifah : 4973)
[4] Boleh wanita haidh atau orang junub
untuk tinggal di Masjid tanpa syarat dan tanpa batasan secara mutlak. Inilah
Madzhabnya Dzahiriyah Dawud bin Hazam (Al-Muhallah 2/184), yang berpendapat
seperti ini juga Ibnul Mundzir dan Imam Ahmad , Al-Muzani dari kalngan ulama
syafi’iyyah, sebagimana yang dikatakan Imam An-Nawawie didalam kitab Al-Majmu’
1/173, Imam Al-khathabi di kitab Ma’alimus Sunan, dan Syaikh Al-Albani
menguatkan pendapat ini dikitab Tamamul Minnah hal. 119.
Imam An-Nawawie rahimahullah berkata :
وَاحْتَجَّ مَنْ أَبَاحَ الْمُكْثَ
مُطْلَقًا بِمَا ذَكَرَهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي الْأَشْرَافِ وَذَكَرَهُ غَيْرُهُ
إنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (الْمُسْلِمُ لَا
يَنْجُسُ) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي هُرَيْرَةَ
وَبِمَا احْتَجَّ بِهِ الْمُزَنِيّ فِي الْمُخْتَصَرِ وَاحْتَجَّ بِهِ غَيْرُهُ
أَنَّ الْمُشْرِكَ يَمْكُثُ فِي الْمَسْجِدِ فَالْمُسْلِمُ الْجُنُبُ أَوْلَى:
وَأَحْسَنُ مَا يُوَجَّهُ بِهِ هَذَا الْمَذْهَبُ أَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ
التَّحْرِيمِ وَلَيْسَ لِمَنْ حَرَّمَ دَلِيلٌ صَحِيحٌ صَرِيحٌ
Dan yang membolehkan secara mutlak
mereka berdalil sebagimana yang disebutkan Al-Mundziri dan yang lainnya didalam
kitab al-asyraf adalah bahwasanya nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda, “
Muslim itu tidaklah najis diriwayatkan Bukhari Muslim dari riwayat Abu
Hurairah, dan apa yang dijadikan dalil oleh Al-Muzani didalam kitab
Al-Mukhtashar, demikian juga ulama lainnya, bahwasanya orang Musyrik tinggal di
masjid maka orang muslim yang junub lebih layak lagi bolehnya, dan yang paling
baik perkataan didalam masalah ini adalah bahwa hukum asal tidak adanya hukum
haram sehingga adanya dalil yang shahih lagi sharih (tegas)” (Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzab 2/174).
Imam Al-Baghawie rahimahullah mengatakan
:
وَجَوَّزَ أَحْمَدُ، وَالْمُزَنِيُّ
الْمَكْثَ فِيهِ، وَضَعَّفَ أَحْمَدُ الْحَدِيثَ، لأَنَّ رَاوِيَهُ أَفْلَتُ بْنُ
خَلِيفَةَ مَجْهُولٌ، وَتَأَوَّلَ الآيَةَ عَلَى أَنَّ {عَابِرِي سَبِيلٍ} هُمُ
الْمُسَافِرُونَ تُصِيبُهُمُ الْجَنَابَةَ، فَيَتَيَمَّمُونَ وَيُصَلُّونَ، وَقَدْ
رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ.
“Dan Imam Ahmad demikian juga Al-Muzani
membolehkan (wanita haidh dan orang junub) tinggal di masjid, dan Hadits Jasrah
bintu Dajajah dilemahkan karena rowi aplat bin Khalifah majhul (tidak dikenal)
sementara ayat ‘Abiris Sabiil (yang berjalan) ditafsirkan bukan orang lewat
tapi maksudnya musafir yang terkena junub maka tayyamulah mereka lalu shalatlah
dan telah diriwayatkan yang demikian itu dari Ibnu Abbas” (Syarh Sunnah,
Al-baghawi 2/46)
Pendapat yang kuat diantara pendapat
yang dijelaskan para ulama diatas adalah pendapat yang ke empat yaitu boleh
bagi wanita yang haid dan nifas atau orang junub secara umum untuk berdiam di
masjid secara mutlak.
Karena sebab-sebab berikut ini :
[a] Hukum asalnya adalah boleh seseorang
berdiam di masjid kecuali ada dalil yang melarangnya , dalam hal ini tidak ada
dalil yang sharih (tegas ) dalam pelarangan ini.
[b] Bantahan terhadap ayat QS An-Nissa :
43 yang dijadikan dalil oleh kelompok para yang mengharamkan orang junub
tinggal di masjid.
Adapun ayat maka tidak tegas kepada
pelarangan orang junub tinggal di Masjid :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا
تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub ,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. (QS An-Nissa : 43)
Maksud ayat adalah Jangan shalat kalau
sedang mabuk sehingga kalian tahu apa yang kalian baca demikian juga jangan
shalat bagi orang junub sehingga dia mandi junub kecuali bagi musafir boleh ia
bertayamum apabila tidak ada air boleh ia shalat walaupun tidak mandi junub.
Sebagian ulama menafsirkan jangan dekat
tempat shalat yaitu masjid, disinilah letak khilafnya para ulama yaitu dalam
memahami dilarang mendekati tempat shalat (masjid) atau dilarang mendekati
shalat itu sendiri, maksudnya dilarang shalat. Dan inilah yang rojih insya Allah.
Yang menguatkan tafsiran ini adalah
asbabun nuzul ayat. Ali bin Ali bin Abi thalib radliyallahu anhu berkata :
“Ayat ini turun tentang Musafir “ Dan Orang yang junub maka tidak boleh
mendekat shalat (tidak boleh shalat) sehingga ia mandi kecuali ‘Abirus sabil
(musafir) Maksudnya, apabila musafir ini junub lalu tidak mendapatkan air maka
boleh ia untuk tidak mandi tapi bertayammum lalu shalat sampai ia mendapati air
setelah mendapati air barulah ia mandi” (HR Al-Baihaqi 1/216, Tafsir Thabari
5/62) Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : sanad hadits ini shahih (Irwaul
Ghalil : 193)
[c] Bantahan terhadap Hadits Jasrah :
Adapun Hadits Jasrah dari Aisyah adalah
lemah yang tidak bisa dijadikan hujjah. Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan
: Pada hadits Jasrah ada ‘Ajaaib (keganjilan-keganjilan)” (Al-Majmu’ 2/174),
Ibnu Abdil barr rahimahullah berkata, “Hadits Jasrah tidak shahih menurut para
ulama ahlul hadits” (Bidayah Al-Mujatahid 1/47), Al-Baihaqi mengatakan ia
(hadits Jasrah) tidaklah kuat, Ibnu Hazam rahimahullah berkata, “ Ini semuanya
bathil” (Al-Muhalla 2/184-187) , Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “ Tidak ada
yang mengatakan satupun Imam ahli hadits dalam masalah ini” (At-Talkhish
Al-Habir : 51) (lihat juga kitab : Dha’if Al-Jaami’us Shaghir : 6117, Irwaul
Ghalil : 193). Ada lagi jalur lain dari Jasrah dari Umu
salamah juga sama lemah (lihat keterangannya di Tamamul Minnah : 118)
[d] Dalil yang menunjukan bolehnya orang
junub tinggal di masjid adalah sebagaimana ahlus suffah (para sahabat yang
tidak punya tempat tinggal) mereka tinggal di masjid yang tentunya diantara
mereka ada yang junub yang mimpi basah misalnya , akan tetapi rasulullah
shalallahu alaihi wasallam tidak mengeluarkan mereka dari masjid.
[e] Demikian juga ketika Aisyah haji dan
terkena haidh maka Rasulullah hanya melarang thowaf saja dan beliau tidak
melarang Aisyah masuk masjidil haram, beliau hanya mengatakan :
إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ
اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ، فَاقْضِي مَا يَقْضِي الحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لاَ
تَطُوفِي بِالْبَيْتِ
“Sesungguhnya haidh ini adalah perkara yang
sudah jadi ketetapan Allah kepada anak wanita adam maka lakukanlah apa yang
dilakukan orang haji (lakukan seluruh rangkaian manasik haji) hanya saja jangan
kamu thawaf di ka’bah” (HR Bukhari Muslim)
[f] Orang kafir pada zaman Nabi
shalallahu alaihi wasallam masuk dan tinggal di masjid Nabi shalallahu alaihi
wasallam misalnya Tsumamah Bin Atsal.
Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata :
بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ، فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي
حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ: ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ، فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ
سَوَارِي المَسْجِدِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ: «أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ»، فَانْطَلَقَ إِلَى نَخْلٍ قَرِيبٍ
مِنَ المَسْجِدِ، فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ دَخَلَ المَسْجِدَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah
mengirim pasukan berkuda mendatangi Najed, pasukan itu lalu kembali dengan
membawa seorang laki-laki dari bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal.
Mereka kemudian mengikat laki-laki itu di salah satu tiang masjid. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam lalu keluar menemuinya dan bersabda:
"Lepaskanlah Tsumamah." Tsumamah kemudian masuk ke kebun kurma dekat
Masjid untuk mandi. Setelah itu ia kembali masuk ke Masjid dan mengucapkan,
"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selian Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah." (HR Bukhari : 462)
Demikian juga orang Nasrani Najran, maka
kalau orang musyrik boleh masuk masjid apalagi muslim yang junub lebih boleh
lagi.
[g] Nabi shalallahu alaihi wasallam
thowaf di masjidil haram pakai kendaraan unta yang tentunya buang air buang
kotoran, kalau unta saja binatang yang tentunya kotor boelh masuk masjid maka
muslim junub yang mulia tentunya lebih boleh lagi.
[h] Anjing keluar masuk pada zaman Nabi
shalallahu alaihi wasallam. Abdullah Bin Umar Bin Al-Khattab radliyallahu
anhuma berkata :
كَانَتِ الكِلاَبُ تَبُولُ،
وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي المَسْجِدِ، فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
“Dahulu anjing terbiasa keluar masuk
masjid pada zaman Nabi shalallahu alaihi wasallam dan mereka tidak membasuh
(bekas anjing) tersebut sedikit pun” (HR Bukhari : 174). Kalau anjing saja
boleh masuk masjid maka tentunya muslim junub dan wanita haidh lebih boleh
lagi.
[i] Apalagi kalau masuk masjidnya wanita
haidh ke masjid untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar seperti mendengarkan
kajian dan menuntut ilmu maka tentunya lebih boleh lagi.
[j] Kesimpulannya : Hukum wanita yang
haidh dan orang yang junub secara umum masuk masjid ada khilaf di kalangan para
ulama kepada beberapa pendapat dengan perincian yang telah disebutkan, dan pendapat
yang kuat didalam masalah ini adalah boleh secara mutlak tanpa syarat apapun.
Dan kita dalam mensikapi perbedaan pendapat ini haruslah menghadapinya dengan
lapang dada tanpa saling mengatakan sesat kepada orang yang beda pendapatnya
dengan kita, karena ruang perbedaan pendapat dalam maslah ini adalah masih
dalam lingkup khilafiyah ijtihadiyah. Diantara fatwa yang memilih pendapat
bolehnya orang junub dan wanita haidh serta nifas masuk masjid silahkan lihat
fatwanya disini http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=123630
Wallahu a’lam.
Abu Ghozie As-Sundawie