APAKAH MUNTAH NAJIS ?
Ustadz mau tanya
bagaimana hukum muntah bayi ataupun orang dewasa, apakah najis atau tidak ?
dari Abulfida di Solo.
JAWAB :
Barokallahu fikum
akhil karim....tentang hukum muntah apakah najis atau tidak maka dalam masalah
ini ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Didalam
kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah disebutkan :
اخْتَلَفَتِ
الآْرَاءُ فِي طَهَارَةِ الْقَيْءِ وَنَجَاسَتِهِ. فَيَقُول الْحَنَفِيَّةُ
وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ بِنَجَاسَتِهِ وَلِكُلٍّ مِنْهُمْ
تَفْصِيلُهُ، وَبِذَلِكَ يَقُول الْمَالِكِيَّةُ فِي الْمُتَغَيِّرِ عَنْ حَال
الطَّعَامِ وَلَوْ لَمْ يُشَابِهْ أَحَدَ أَوْصَافِ الْعَذِرَةَ. قَال
الْحَنَفِيَّةُ: إِنَّ نَجَاسَتَهُ مُغَلَّظَةٌ؛ لأِنَّ كُل مَا يَخْرُجُ مِنْ
بَدَنِ الإْنْسَانِ وَهُوَ مُوجِبٌ لِلتَّطْهِيرِ فَنَجَاسَتُهُ غَلِيظَةٌ وَلاَ
خِلاَفَ عِنْدَهُمْ فِي ذَلِكَ
“Para ulama berbeda
pendapat tentang muntah apakah najis atau tidak. Madzhab Hanafiyah, syafi’iyah
dan Hanabilah menyatakan najisnya muntah dengan masing-masing menyebutkan
perinciannya. Demikian juga madzhab malikiyah berpendapat yang sama tentang
perubahan dari kondisi makanan walaupun mereka tidak menyamakannya dengan salah
satu sifat kotoran. Madzhab Hanafi menyatakan Bahwa muntah adalah najis yang
berat karena setiap yang keluar dari tubuh manusia yang diperintahkan untuk
dibersihkan maka najisnya berat, tidak ada perbedaan pendapat dikalangan mereka
(hanafiyah) dalam masalah itu” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah 34/86)
Muntah yang dimaksud
adalah :
الْخَارِجُ مِنَ الطَّعَامِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِهِ فِي الْمَعِدَةِ
“Keluarnya
makanan yang sudah berada didalam perut” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah 34/85)
Perincian
dari pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
[1] Pendapat yang
mengatakan bahwa muntah najis secara mutlaq tanpa diperinci dan ini adalah
madzhabnya jumhur (mayoritas) para ulama dari mulai imam yang empat,
Dzahiriyah, syaikhul islam, Ibnul Qayyim, dan yang lainnya. Dalil mereka adalah
mengqiyaskan (menganalogikan) dengan kotoran manusia
(tinja), dimana muntah dan
kotorannya manusia asalnya adalah sama-sama makanan yang berada diperut lalu
keluar dalam keadan berubah menjadi sesuatu yang bau.
Imam
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
القيء نجس لأنه طعام استحال في الجوف إلى الفساد فأشبه الغائط
“Muntah
hukumnya najis, karena perubahan makanan yang ada diperut menjadi rusak,
sehingga disamakan dengan kotoran (manusia)” (Al-Kafi 1/153)
Imam
Ibnu Hazam rahimahullah berkata :
وَالْقَيْءُ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ أَوْ كَافِرٍ حَرَامٌ يَجِبُ
اجْتِنَابُهُ ؛ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: الْعَائِدُ فِي
هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ فِي قَيْئِه
“Muntah
baik dari orang muslim ataupun kafir adalah haram wajib dijauhi berdasarkan
sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam “oarng yang meminta kembali
pemberiannya seperti orang yang memakan muntahnya” (Al-Muhalla 1/191). Maksud
haram disini adalah najis.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وَالْقَيْءُ نَجِسٌ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ (قَاءَ فَتَوَضَّأَ) وَسَوَاءٌ أُرِيدَ غَسْلُ يَدِهِ أَوِ الْوُضُوءُ
الشَّرْعِيُّ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ إِلَّا عَنْ نَجَاسَةٍ
“Muntah
hukumnya najis karena Nabi shalallahu alaihi wasallam pernah muntah lalu beliau
berwudhu, baik wudhu bermakna cuci tangan ataupun wudhu bermakna wudhu syar’i
(seperti wudhu mau shalat) menunjukan bahwa Beliau tidaklah melakukan itu
kecuali karena najis” (Syarah Umdatul Fiqih 1/108, Majmul Fatawa 21/597)
Komite
tetap dewan Fatwa Saudi Arabiya menyatakan didalam fatwanya :
القيء نجس سواء كان من صغير أو كبير لأنه طعام استحال في الجوف إلى
الفساد أشبه الغائط والدم ، فإذا أصاب الثوب أو غيره وجب غسله بالماء مع الفرك
والعصر حتى تذهب عين النجاسة وتزول أجزاؤها وينقى المحل
“Muntah
hukumnya najis baik muntah orang dewasa ataupun anak kecil, karena ia adalah
makanan yang berubah diperut menjadi sesuatu yang rusak sehingga disamakan
hukumnya dengan tinja dan darah, maka apabila terkena pakaian atau yang lainya
wajib dicuci dengan air sambil digosok serta diperas sampai hilang najisnya
lenyap bekasnya dan bersih” (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daaimah 4/193 no : 20902)
Dalil
yang digunakan oleh pendapat yang menyatakan akan najisnya muntah juga adalah
hadits Amar bin Yasir ketika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda
kepadanya :
يَا عَمَّارُ إِنَّمَا يُغْسَلُ الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ: مِنَ
الْغَائِطِ، وَالْبَوْلِ، وَالْقَيْءِ، وَالدَّمِ، وَالْمَنِيِّ
“Wahai
Amar sesungguhnya baju itu dicuci karena terkena lima perkara : kotoran manusia
(tinja), air kencing, muntah, darah dan mani” (HR Daraquthni : 458)
Akan
tetapi hadits tersebut dha’if sebagaimana dijelaskan oleh syaikh Al-Albani
didalam Silsilah Ad-Dha’ifah no : 4849. Bahkan Imam An-Nawawi menghukumi hadits
diatas adalah Bathil (Al-Majmu’ syarah Al-Muhadzab 2/549)
[2]
Diantara para ulama ada yang memperincinya, yaitu kalau muntah yang sudah
berubah dari makanan kepada sesuatu yang rusak dan berbau maka dihukumi najis adapun
muntah yang belum berubah tapi masih berbentuk makanan maka suci. Madzhab
Jumhur mengatakan tetap najis walaupun muntah yang keluar tidak berubah dari
bentuk makanan kecuali Malikiyah dimana mereka mengatakan bahwa muntah tersebut
adalah suci.
Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata :
نجاسة القيء متفق عليها ، وسواء فيه قيء الآدمي وغيره من الحيوانات ..
وسواء خرج القيء متغيراً أو غير متغير ، وقيل : إن خرج غير متغير فهو طاهر ، وهو
مذهب مالك
“Najisnya
muntah adalah perkara yang disepakati atasnya, baik muntah manusia ataupun
muntahnya binatang...baik keluar dengan berubah ataupun tidak. Dan ada yang
berpenpendapat bahwa kalau tidak berubah maka muntah itu suci dan ini
madzhabnya Malik” (Al-Majmu’ 2/551)
Al-Qurrafi
rahimahullah berkata :
الْقَيْءُ وَالْقَلْسُ طَاهِرَانِ إِنْ خَرَجَا عَلَى هَيْئَةِ طَعَامٍ
“Al-Qoi-u
(muntah) dan qalas (sejenis muntah kalau dalam bahasa nenek moyang saya OLAB)
keduanya adalah suci apabila keluar dalam keadaan dalam bentuk makanan”
(Ad-Dzakhirah 1/185)
[3] Ada
juga diantara ulama yang merinci dengan sedikit atau banyaknya muntah dan tidak
dibedakan baik muntah bayi ataupun orang dewasa, yaitu kalau muntah sedikit
maka suci tapi kalau banyak maka najis yang harus di cuci. Inilah pendapatnya
syaikh Bin Baaz rahimahullah (Fatwa Nurun ‘Alad Darb 5/379)
[4]
Terkait muntahnya bayi maka ada yang memperincinya seperti merinci pada
muntahnya orang dewasa yaitu kalau berubah misalnya dari air susu lalu keluar
ada sesuatu yang berubah dari dzat susu baik warnanya dan baunya maka ia adalah
najis akan tetapi kalau tidak berubah hanya qalas (bahasa sunda : olab) maka ia
adalah suci. (Syarah Zaadul Mustaqni’ 22/18)
[5]
Sebagian ulama ada yang memberi udzur atau keringanan terhadap muntahnya bayi
bahwa itu perkara yang menyulitkan untuk dihindari sehingga diberi keringanan.
Imam
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata :
وَقد علم الشَّارِع أَن الطِّفْل يقيء كثيراً وَلَا يُمكن غسل فَمه
وَلَا يزَال رِيقه ولعابه يسيل على من يربيه ويحمله وَلم يَأْمر الشَّارِع بِغسْل
الثِّيَاب من ذَلِك وَلَا منع من الصَّلَاة فِيهَا وَلَا أَمر بالتحرز من ريق
الطِّفْل . فَقَالَت طَائِفَة من الْفُقَهَاء : هَذَا من النَّجَاسَة الَّتِي
يُعْفَى عَنْهَا للْمَشَقَّة وَالْحَاجة ، كطين الشوارع والنجاسة بعد
الِاسْتِجْمَار ونجاسة أَسْفَل الْخُف والحذاء بعد دلكهما بِالْأَرْضِ .
“Syari’at
telah menerangkan bahwa bayi itu sering mengeluarkan muntah, sehingga sulit
untuk dicuci mulutnya, air liur dan ludahnya senantiasa menetes mengenai baju
orang yang merawatnya dan memangkunya, maka Syari’at tidak memerintahkan
mencuci baju dari yang demikian, tidak juga dilarang shalat karena yang
demikian, tidak juga dilarang untuk menghindari air liur bayi. Oleh karena itu
Sebagian Ahli Fikih telah berkata, ini adalah bentuk najis yang dimaafkan
karena sulit dihaindarai dan karena adanya hajat seperti lumpur dijalan-jalan
atau sisa kotoran setelah istinja dengan batu, atau najisnya dibawah sepatu
atau sandal setelah digosokan ditanah..” (Tuhfatul Maudud : 218)
[6]
Diantara ulama yang berpendapat sucinya muntah adalah Imam As-Syaukani (kitab
Sailul Jarar 1/43, Syaikh Al-Albani dan Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahumullah,
alasan mereka adalah bahwa hukum asal sesuatu itu suci sehingga ada dalil yang
menajiskannya, dalam hal ini tidak ada dalil yang sharih (tegas) dalam masalah
muntah.
Syaikh
Abu Malik Kamal As-Sayyid hafidzahullah mengatakan :
قد تقدم مرارًا أن
الأصل في جميع الأشياء: الطهارة، وأنه لا ينقل عن ذلك الأصل إلا بناقل صحيح
للاحتجاج به، غير معارض بما يرجح عليه أو يساويه، فإن وجدنا ذلك فبها ونعمت، وإن
لم نجد ذلك وجب علينا الوقوف في موقف المنع لمدعي النجاسة، لأن هذه الدعوى تفيد أن
الله تعالى قد أوجب على عباده غسل هذه الأعيان، التي يزعم أنها نجسة وأن وجودها
يمنع الصلاة بها، فما الدليل على ذلك؟! والقيء ونحوه من هذا القبيل فلم يصح فيه ما
ينقله عن الطهارة الأصلية، وقد ورد فيه حديث عمار: «إنما تغسل ثوبك من البول والغائط
والقيء والدم والمني» لكنه ضعيف لا يحتج به. والله أعلم. وقد ثبت عن أبي الدرداء
«أن النبي صلى الله عليه وسلم قاء فأفطر فتوضأ» (صحيح: أخرجه أبو داود (2381)،
والترمذي (87)، وأحمد (6/ 443) وغيرهم. وليس في هذا الحديث دلالة على نجاسة القيء،
وليس فيه دليل على وجوب الوضوء منه، ولا يدل على نقض الوضوء به، وإنما غايته
مشروعية الوضوء من القيء، لأن مجرد فعل النبي صلى الله عليه وسلم لا يدل على
الوجوب.
“Telah berlalu
berulangkali disebutkan sebuah kaedah Bahwasanya : Hukum asal segala sesuatu
adalah suci dan tidak ada yang memalingkan dari kesucian itu kecuali dalil yang
shahih yang bisa dijadikan hujah tidak bertentangan dengan dalil yang lebih
kuat atau dengan yang selevel, maka kalau kita mendapati dalil tersebut syukur
alhamdulillah tapi kalu tidak mendapatkannya maka wajib atas kita tawaquf
(diam) untuk tidak mengatakan ini itu najis, karena klaim najis ini
konsekwensinya adalah bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada para hamba-Nya
untuk mencuci benda ini yang disangka najis, dan karena keberadaanya
menyebabkan terlarangnya shalat, apa dalil yang menunjukan atas hal itu ?
Sementara masalah muntah dari sisi ini tidak ada yang memalingkannya dari kesuciannya
secara asal. Ada dalil dari hadits ammar “sesungguhnya dicucinya baju itu
apabila terkena yang lima, air kencing, kotoran manusia, muntah, darah dan
mani” akan tetapi hadits nya dha’if wallahu a’lam. Ada juga hadits abu Darda
bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah muntah lalu beliau berbuka
puasanya dan berwudlu (HR Abu Dawud : 2381, Tirmidzi : 87, Ahmad 6/443) dan
yang lainnya, Hadits inipun tidak menunjukan kalau muntah itu najis, tidakpula
menunjukan wajibnya berwudlu kalau muntah, tidak menunjukan pula kalau muntah
itu membatalkan wudlu, akan tetapi intinya hadits ini menunjukan bahwa
disyari’atkan wudlu kalau muntah, karena semata-mata perbuatan Nabi shalallahu
alaihi wasallam tidak menunjukan kepada hukum wajib” (Kitab Shahih Fiqih Sunnah
1/81)
KESIMPULAN
:
[a]
Hukum muntah ada khilaf dikalangan para ulama antara yang menajiskan dan yang
tidak menajiskan.
[b]
Pendapat jumhur mayoritas menyatakan najis secara mutlak tanpa perincian.
[c]
Diantara ulama ada yang merinci seperti Imam Malik, kalau muntah tersebut sudah
berubah kondisinya dari makanan menjadi zat yang rusak dan berbau maka najis
kalau tidak berubah maka suci. Dalam hal ini tidak dibedakan antara bayi atau
dewasa.
[d]
Diantara ulama juga ada merinci antara banyak atau sedikitnya muntah tanpa
melihat perubahannya. Kalau banyak najis kalau sedikit maka suci. Inilah
pendapatnya Syaikh Bin Baaz rahimahullah.
[e]
Diantara ulama ada merinci dengan membedakan antara muntah orang dewasa dan
anak-anak, dimana kalau muntah anak-anak yang sering terjadi sehingga sulit
untuk menghindarinya, sehingga diberi keringanan yang berbeda dengan muntahnya
orang dewasa.
[f] Pendapat yang
mengatakan muntah adalah suci karena hukum asal segala sesuatu adalah suci
sehingga datang dalil yang menajiskannya. Dan ini adalah pendapat minoritas
tapi ingat tidak setiap pendapat jumhur itu benar, sebaliknya tidak setiap
pendapat minoritas itu salah. Dan yang rojih menurut pandangan kami yang lemah
ini adalah pendapat yang menyatakan sucinya muntah dan tidak membatalkan wudhu.
Setiap kita tentunya harus berlapang dada dalam mensikapinya.
Wallahu a’lam.
ABU GHOZIE
AS-SUNDAWIE