Ustadz Unknown |

TENTANG MADZI, WADI dan MANI


SOAL :
Assalamu'alaikum Vi tanya ya..
Kalo yang keluar dari tempt keluar anak (kemaluan) apa itu gak membatalkan wudhu ?? Ma’af dan bagai mana cara mambedakan antra Madzi, Wadi, Mani, Terimksih. Dari Hamba Sahaya melalui Fb

JAWAB :
Barokallahu fikum....semoga Hamba Sahaya nama kok hamba sahaya ya? Selalu istiqamah serta dimudahkan dalam semua urusan.

Terkait pertanyaan ada beberapa poin yang perlu dijelaskan secara singkat diantaranya :

[1] Segala sesuatu yang keluar dari dubur dan qubul (kemaluan) baik berupa; benda padat, cair, angin, dan sebagainya, maka ini semua membatalkan wudhu. Dintara dalilnya adalah hadits dari ’Ali bin Thalq Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُعِدِ الصَّلَاةَ

Apabila seseorang di antara kalian buang angin dalam shalat, maka hendaknya ia membatalkan shalat, berwudhu, dan mengulangi shalatnya.” (HR. Abu Dawud : 205)

[2] Setiap yang keluar dari qubul atau dubur membatalkan wudhu itu Ada yang dikecualikan yaitu darah istihadhah bagi wanita, Ia adalah darah penyakit karena terputusnya pembuluh darah. Darah itu tidak akan berhenti, kecuali jika sembuh. Adapun ciri-ciri darah istihadhah adalah : Berwarna merah, Encer,Tidak berbau busuk, Membeku setelah keluar, walaupun darah istihadhah keluar dari kemaluan wanita akan tetapi ia tidaklah membatalkan wudhu. Berbeda dengan darah haid atau darah nifas maka ia membatalkan wudhu.

’Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Fatimah binti Abi Jahsy radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam , ”Sesungguhnya aku mengalami istihadhah sehingga aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?” Beliau bersabda:

لَا إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَكِنْ دَعِيَ الصَّلَاةَ قَدْرَ الْأَيَّامِ الَّتِيْ كُنْتِ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّي

”Tidak, sesungguhnya itu adalah darah urat. Tetapi tinggalkanlah shalat selama beberapa hari yang biasa engkau dahulu mengalami haidh. Kemudian mandilah dan shalatlah.” (HR. Bukhari Juz 1 : 319, lafazh ini miliknya dan Muslim Juz 1 : 333)

[3] Sesuatu yang keluar dari dua lobang manusia ada yang dihukumi najis dan ada yang tidak najis (suci) , diantaranya adalah :

1. Air seni manusia, dan hukumnya najis. Dalil yang menunjukan najis adalah karena Rasulullah memerintahkan untuk menyiram air tatkala ada seorang arab gunung kencing di Masjid.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan;

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِيْ طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوْبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيْقَ عَلَيْهِ

Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 219, dan Muslim Juz 1: 285)

2. Kotoran manusia, dihukumi juga najis Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah y bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

إِذَا وَطِىءَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُوْرٌ.
Apabila seseorang diantara kalian menginjak najis (kotoran manusia) dengan sandalnya, maka tanah adalah pencucinya.” (HR. Abu Dawud : 385)

3. Madzi

Madzi adalah cairan putih (bening) encer, dan lengket, yang keluar ketika naik syahwat seperti saat bercumbu. Tidak menyembur, tidak diikuti dengan rasa lemas, dan terkadang keluar tanpa terasa. Dialami oleh pria dan wanita, akan tetapi kaum wanita lebih banyak kadarnya daripada pria. Madzi adalah najis, oleh karena itulah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membasuh kemaluan darinya. Hal ini berdasarkan hadits Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;

كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِيْ أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ.

Aku adalah laki-laki yang sering keluar madzi. Aku malu menanyakannya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam karena kedudukan putri beliau. Maka aku menyuruh Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu ‘anhu untuk menanyakannya. Beliau lantas bersabda, ”Dia (harus) membasuh kemaluannya dan berwudhu.” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 132 dan Muslim Juz 1 : 303, lafazh ini miliknya)

4. Wadi

Wadi adalah cairan bening dan agak kental yang keluar setelah buang air kecil. Hukum wadi sama dengan madzi. Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata;

اَلْمَنِيُّ وَالْوَدِيُّ وَالْمَذِيُّ أَمَّا الْمَنِيُّ فَهُوَ الَّذِيْ مِنْهُ الْغُسْلُ وَأَمَّا الْوَدِيُّ وَالْمَذِيُّ فَقَالَ اِغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيْرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلَاةِ.
“Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani, maka ia wajib mandi. Sedangkan untuk wadi dan madzi, beliau bersabda, ”Basuhlah dzakar atau kemaluanmu dan wudhulah sebagaimana engkau berwudhu’ untuk shalat.” (HR. Baihaqi Juz 1 : 771)

5. Darah haidh, hukumnya najis.

Diriwayatkan dari ‘Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata;

جَاءَتْ اِمْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيْضُ فِي الثَّوْبِ كَيْفَ تَصْنَعُ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّي فِيْهِ.

“Seorang wanita datang (kepada) Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, ”Wahai Rasulullah, pakaian salah seorang dari kami terkena darah haidh, apa yang harus kami lakukan? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab; Ia harus mengeriknya dan menggosok-gosoknya dengan air, lalu disiram dengan air. Kemudian ia (boleh) melakukan shalat dengannya.” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 225 dan Muslim Juz 1 : 291) 

Darah haidh adalah darah yang memiliki ciri-ciri khusus dan keluar dari seorang wanita dari tempat khusus (kemaluan) pada waktu yang diketahui. Tidak ada batasan waktu minimal dan maksimalnya, tetapi biasanya selama 6(enam) atau 7(tujuh) hari dalam sebulan. Adapun ciri-ciri darah haidh adalah : Berwarna hitam, Kental, Berbau tidak sedap, Tidak membeku setelah keluar
Datangnya darah haidh bisa diketahui dengan keluarnya darah pada waktu yang memungkinkan terjadi haidh. Sedangkan berhentinya darah haidh dapat diketahui dengan berhentinya darah dan keluarnya cairan berwarna kuning dan berwarna keruh (kotor kehitam-hitaman). Ini bisa diketahui dengan salah satu dari dua hal berikut :

a. Kering, yaitu dengan meletakkan kain pada kemaluan, lalu terlihat bahwa kain tersebut kering (tidak ada darah haidhnya).

b. Cairan Putih (Al-Qashshatul Baidha’), yaitu cairan berwarna putih yang keluar dari rahim saat darah haidh berhenti. Hal ini sebagaimana hadits ‘Aisyah ia berkata;

كَانَ النِّسَاءُ يَبْعَثْنَ إِلَى عَائِشَةَ بِالدَّرَجَةِ فِيْهَا الْكُرْسَفُ فِيْهِ الصُّفْرَةُ مِنْ دَمِ الْحَيْضِ فَتَقُوْلُ لَا تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ تُرِيْدُ بِذَلِكَ أَيْ الطُّهْرَ مِنَ الْحَيْضَةِ.

Para wanita mengutus seorang kepada Ummul Mu’minin ‘Aisyah dengan membawa kain yang berisikan kapas yang terdapat cairan berwarna kekuningan dari darah haidh. Maka ‘Aisyah berkata, “Janganlah terburu-buru hingga kalian melihat cairan putih.” Yang dimaksud adalah suci dari haidh.” (HR. Baihaqi Juz 1 : 1486. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil : 198)

6. Mani.

Mani adalah cairan yang keluar dari kemaluan yang dibarengi rasa nikmat. Keluarnya cairan ini mengharuskan seseorang mandi hadats besar (mandi junub). Mani hukumnya suci, dan inilah pendapat yang kuat, karena ada sebagian ulama yang menajiskannya. akan tetapi walaupun pun ia suci disunnahkan untuk mencucinya jika dalam keadaan basah, dan mengeriknya jika dalam keadaan kering.

Kesucian mani Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i, Dawud, dan salah satu dari 2(dua) riwayat yang paling shahih dari Imam Ahmad. Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah :

“Tidak terdapat 1(satu) dalil pun yang mengatakan najisnya mani. Ada sebuah pembahasan panjang, yang ditulis oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, yang mana didalamnya terdapat diskusi panjang antara orang yang menganggap najisnya mani, dan orang yang berpendapat mani itu suci dan tampak jelas dalam diskusi tersebut, bahwa mani itu suci.”

A’isyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa beliau mengatakan kepada orang yang mencuci pakaiannya karena terkena mani, “sesungguhnya cukup bagimu jika melihatnya (mani) mencuci yang terkena maninya saja (tidak perlu dicuci seluruh pakaiannya), jika kamu tidak melihatnya, maka percikan air pada bagian sekitarnya, dan engkau sendiri telah menyaksikan aku mengeriknya dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lalu beliau melakukan shalat dengan pakaian tersebut” (HR Muslim : 290), inilah jawaban atas pertanyaan semoga bermanfa’at,
Wallahu a’lam.

ABU GHOZIE AS-SUNDAWIE