HAID MELEWATI BATAS KEBIASAAN, ATAU HAID TIDAK TERATUR
SOAL :
Na'am abu..afwan
masalah haid...ana suka baca batasan haid ada yg menjaelaskan tak ada
batasannya ada juga normalnya 7 - 8 hari. Afwan abu ana suka sampai 10 Atau 9
hari sampai masa suci..hari pertama afwan plek ana sdh enggak sholat ke 2 ke 3
mash sama dan ke 4 ke 5 dan ke 6 itu alhamdulillah tdk flek lg dan ke 7 ke 8
sampai 10 hari itu mulai berhenti tp berganti plek kembali afwan msh berbentuk
dr haid..yg ana tanyakan adakah batasan haid buat kaum hawa? Dan apa yg ana alami
msh di hukumi haid krn selama 10 hari itu tak berhenti.syukron abu afwan atas
pertanyaan ana..Dari Suti Inalma
JAWAB :
[1] Barokallahu
fikum Ukhti Suti Inalma semoga istiqamah selalu...maaf telat menjawab , terkait
batasan haidh ada khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para Ulama, dimana
kebanyakan mereka memberi batasan minimalnya sehari semalam dan maksimalnya 15
hari, akan tetapi semua itu tidak berdasarkan dalil yang jelas hanya dari hasil
ijtihadiyahsaja.
Syaikh Abu malik didalam kitab Shahih Fiqih Sunnah mengatakan :
Syaikh Abu malik didalam kitab Shahih Fiqih Sunnah mengatakan :
ولا حدَّ لأقل الحيض ولا لأكثره، وإنما مرد ذلك إلى العادة: لأنه لم
يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم دليل صحيح يوضح أقل الحيض ولا أكثره. قال شيخ
الإسلام : وأما الذين يقولون: أكثر الحيض خمسة عشر كما يقوله الشافعي وأحمد
ويقولون أقله يوم -كما يقوله الشافعي وأحمد- أو لا حد له كما يقوله مالك، فهم
يقولون: لم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أصحابه في هذا شيء، والمرجع
في ذلك إلى العادة كما قلنا والله أعلم
“ Tidak ada batas waktu minimal dan maksimal untuk haid dan hal ini
di kembalikan kepada kebiasaan yang dialami oleh wanita. Tidak ada dalil shahih
yang menjelaskan hal ini. Syaikhul Islam berkata, Adapun para ulama yang
berpendapat seperti Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa waktu haidh
paling lama adalah 15 hari dan waktu paling sedikit adalah satu hari. Atau Imam
Malik yang berpendapat tidak ada batasan Maka mereka semuanya mengatakan bahwa
dalam masalah ini tidak ada riwayat dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
dan para sahabat, sehingga yang menjadi tolak ukur adalah kebiasaan.
[2] Berdasarkan hal ini maka wanita yang haidnya terbiasa 7, atau
10, atau 15 bahkan lebih misalnya sampai 18 hari pun kalau memang sudah
terbiasa seperti itu maka itulah haidh nya sehingga ia tidak boleh shalat dan
puasa. Tapi kalau terus terusan maka ia bukan darah haid tapi darah istihadhah.
[3] Apabila darah haidh itu datang pada waktu kebiasaannya ,
misalnya hari ke 1 dan ke 2 haidh kemudiaan berhenti pada hari ketiga, dan
datang lagi pada hari yang keempat, dan demikian seterusnya, maka pendapat yang
benar dalam hal ini adalah bahwa terputusnya darah haidh pada hari-hari yang
biasa terjadi haidh, dianggap sebagai masa haidh. Terputusnya darah haidh
tersebut tidak dianggap suci, karena yang diperhitungkan adalah munculnya tanda
kesuciaan, yaitu adanya cairan putih (Al-Qashshatul Baidha’) yang diketahui
oleh kalangan wanita. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Sebagaimana ‘Aisyah Ummul Mukminin pernah
mengatakan;
لَا تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ تُرِيْدُ
بِذَلِكَ أَيْ الطُّهْرَ مِنَ الْحَيْضَةِ.
“Janganlah terburu-buru hingga kalian melihat cairan putih.” Yang
dimaksud adalah suci dari haidh.” (HR. Baihaqi Juz 1 : 1486. Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil : 198)
[4] Apabila seorang wanita yang mengalami haidh diluar kebiasaannya,
baik itu; waktunya lebih panjang, siklusnya berubah, atau wanita hamil yang
mengalami haidh, maka untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan
menggunakan 3(tiga) tingkatan berikut :
1. Melihat Kebiasaan Masa Haidh
Apabila seorang
wanita memiliki masa haidh yang teratur, maka keluarnya darah yang bertepatan
dengan waktu yang biasa terjadi haidh, dihukumi sebagai darah haidh.
Selanjutnya darah yang keluar setelah masa haidh berakhir, dihukumi sebagai
darah istihadhah. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallahu anha,beliauberkata;
“Sesungguhnya Ummu Habibah radliyallahu anha bertanya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tentang darah, lalu ‘Aisyah radliyallahu anha berkata, “Aku melihat bejananya penuh dengan darah, lalu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda;
اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي
وَصَلِّي
“Tunggulah selama masa haidhmu, kemudian mandi dan lakukanlah
shalat.” (HR. Muslim : 334, Abu Dawud : 279)
2. Membedakan Darah Haidh
Apabila seorang wanita tidak teratur masa haidhnya. Tetapi ia mampu
membedakan antara darah haidhnya dengan darah istihadhah, maka jika darah yang
keluar tersebut memiliki kesamaan dengan darah haidhnya, maka ia dihukumi
sebagai darah haidh. Tetapi jika darah tersebut tidak memiliki kesamaan dengan
darah haidh, maka dihukumi sebagai darah istihadhah. Hal ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan dari Fatimah binti Abu Hubaisy ketika mengalami istihadhah,
lalu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya;
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ دَمٌ أَسْوَدٍ يُعْرَفُ، فَإِذَا
كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِيْ عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِيْ
وَصَلِّي.
“Sesungguhnya darah haidh adalah darah hitam yang telah dikenal.
Apabila darah itu yang keluar, maka berhentilah dari shalat namun jika darah
yang lain berwudhulah dan shalatlah.” (HR. Abu Dawud : 304, dan Nasa’i : 216.
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 765)
3. Melihat Kebiasaan Haidh Kerabat Wanitanya
Apabila seorang wanita tidak memiliki masa haidh yang teratur, atau
ia lupa kebiasaan haidhnya, dan ia tidak mampu untuk membedakan antara darah
haidh dengan darah istihadhah, atau wanita tersebut belum pernah mengalami
haidh. Maka ia harus melihat kebiasaan haidh kerabat wanitanya (orang-orangng
yang ada hubungan darah dengannya dari kalangan wanita), seperti; ibunya,
saudarinya, bibinya, dan sebagainya.
Jika ia tidak
memiliki kerabat wanita, maka mengikuti kebiasaan wanita haidh pada umumnya,
yaitu selama 6(enam) atau 7(tujuh) hari. Dan hari pertama keluarnya darah
hingga 6(enam) atau 7(tujuh) hari dihukumi sebagai darah haidh, karena hukum
asal darah yang keluar dari kemaluan wanita adalah darah haidh. Sedangkan darah
yang keluar setelah itu dihukumi sebagai darah Istihadhah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan; “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haidh. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan; “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haidh. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
Wallahu A’lam.
Abu Ghozie
As-Sundawie